Dalam obrolan tersebut, terselip juga cerita masa lalu saya. Tentang bagaimana saya merumuskan cita-cita hingga kemudian memilih untuk menjadi dokter gigi. Lalu juga membahas tentang apa cita-cita terbesar yang pernah saya punya.
Sejenak melirik ke beberapa tahun ke belakang, saya katakan
bahwa ketika saya telah menjadi ibu, saya tidak lagi punya banyak obsesi
pribadi untuk mengejar karir. Sehingga kalau dibandingkan dengan teman-teman
kuliah saya, kemajuan saya di dunia dokter gigi ini tidak kemana-mana. Bahkan
saya sempat hibernasi selama 9 tahun.
“Dunia Ummi adalah kalian.” Begitu ujar saya.
Bahkan, sebelum saya memutuskan off dari profesi dan masih
aktif praktik di klinik, pikiran saya tidak pernah benar-benar ada di klinik.
Saya selalu rindu rumah. Saya ingin bisa bekerja dari rumah.
Untuk kondisi saat itu, praktik di rumah belum memungkinkan.
Karena saya senang menulis, saya sangat ingin menjadi penulis penuh waktu
supaya bisa terus di rumah bersama anak-anak. Saya rela meninggalkan dunia
kedokteran gigi yang sudah saya jalani sejak tahun 1996 saat masuk kuliah,
hingga belasan tahun kemudian.
Allah menjawab impian saya.
Ketika usia anak-anak saya 7 dan 3,5 tahun, suami
dipindahtugaskan ke Australia. Saya seperti diberi satu jalan untuk bisa
menjadi ibu rumah tangga dan penulis penuh waktu. Saya tinggalkan ruang
praktik, karena memang tidak memungkinkan juga untuk menjalankan profesi ini di
Australia buat saya yang membawa visa mendampingi suami kerja.
Saya bahagia tidak harus meninggalkan rumah untuk pergi ke
tempat dinas setiap hari. Kegiatan mengurus rumah terasa menyenangkan.
Kayy bertanya, “Kenapa Ummi gak mau mengejar karir tinggi?”
Saya ulangi lagi, bahwa saya senang berada di rumah bersama
anak-anak. Bahkan kalau bisa menemani mereka secara penuh, tanpa harus ada jeda
saat mereka sekolah dari pagi sampai sore.
Saya tidak sadar, ketika melempar mimpi kedua itu, ternyata diberi jalan lagi oleh Allah.
Setelah suami menuntaskan tugas bekerja di Australia selama
dua tahun, kami memutuskan menjadi praktisi homeschooling saat kembali ke
Indonesia. Bayangan akan selalu bersama anak-anak sepanjang hari, merumuskan
kegiatan mereka, membuat jurnal tentang apa-apa yang telah mereka kerjakan,
seolah memberi percikan semangat yang luar biasa.
Meski saya belum sepenuhnya paham konsep homeschooling kami akan seperti apa, semangat saya sudah berkobar. Saya semakin tergeser jauh dari profesi dokter gigi. Belum ada rindu. Masih ingin bersama anak-anak, menuntaskan masa kecil mereka bersama-sama. Menjadi ibu penuh waktu.
Saya tidak sadar, seiring dengan keputusan untuk menjadi
praktisi homeschooling ini, saya sedang membuka sebuah gerbang petualangan yang
sangat penuh cerita. Penuh derai tawa dan air mata. Perjalanan seseru menaiki
rollercoaster, yang berdebar namun juga mengasyikkan.
Sudah delapan tahun perjalanan homeschooling kami.
Insyaallah, mungkin ini adalah tahun-tahun terakhir kami menjalaninya, karena
kami akan memasuki sebuah petualangan baru yang sepertinya tak kalah seru.
Selama delapan tahun ini, banyak sekali cerita yang terpendam di benak saya dan
mendesak-desak ingin dikeluarkan. Sehingga saya memulai tulisan demi tulisan
ini sembari menggali memori, sambil membuka beberapa catatan di blog dan media
sosial saya.
Tulisan-tulisan sederhana saya ini sebagian besarnya adalah
curhatan, tentang lika-liku perasaan dan jurnal keseharian yang pernah saya
lewati. Karena semuanya adalah pengalaman pribadi, mungkin akan ditemukan
kondisi-kondisi yang sangat belum ideal sehingga tidak layak dicontoh. Namun
silakan ambil hikmah dan ibrohnya.
Jika teman-teman pembaca ingin membacanya secara runut,
silakan klik laman HOMESCHOOLING. Namun saya memang tidak menuliskannya sesuai
kronologis, karena semua tergantung kejadian apa yang tiba-tiba muncul dalam
benak saya, kemudian langsung saya tuliskan. Semoga berkenan.
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!