Antara Dua Pilihan, Sekolah atau Homeschooling?

Menjelang akhir tahun ajaran baru, adalah masa-masa penuh kegalauan bagi sebagian orang yang sedang mempertimbangkan memilih homeschooling. Saya jadi teringat ke masa ketika kami berada di posisi yang sama. Ingin mencoba menjadi praktisi homeschooling, menimbang-nimbang apakah ini keputusan yang tepat dan mencari jalan bagaimana cara memulainya. 

Adakah yang merasakan hal yang sama? 

Setiap praktisi homeschooling, baik yang pernah menyekolahkan anaknya maupun yang memang baru memasuki masa usia sekolah, pasti melalui masa-masa kegalauan ini. Ada yang lama, ada yang sebentar. Mungkin ada juga yang merasa tidak perlu banyak menimbang, karena sudah menjadi keinginan keluarga tersebut sejak lama. 

Tentunya orangtua nggak ingin membuat keputusan sembarangan. Semua ingin diambil matang-matang. Termasuk dalam memilih menjadi homeschoolers. 


Calon praktisi homeschooling, pastinya berasal dari 2 latar belakang, yaitu:

1. Anak yang baru memasuki usia sekolah. 

Artinya, anak-anaknya belum pernah bersekolah sebelumnya. Jadi orangtua memang memutuskan ingin menjadi praktisi homeschooling sejak dini. Anak-anak yang ada di area ini, bisa jadi memang masih berusia dini (jenjang Play Group atau TK) atau anak yang mulai masuk ke usia wajib sekolah (calon anak SD). 

2. Anak yang pernah duduk di bangku sekolah.

Ada beberapa tipe anak yang ada di area ini. Pertama, baru lulus jenjang SD atau SMP dan mau melanjutkan jenjang berikutnya. Kedua, baru menjalani sekolah beberapa tahun saja (kelas 1 atau 2 SD) dan merasa ingin pindah ke jalur homeschooling. Sebetulnya, nggak ada perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Namun lamanya anak menempuh pendidikan formal, berdasarkan pengalaman kami, akan berpengaruh pada adaptasi di masa transisi dari sekolah ke homeschooling. 


Ketika para orangtua berada di antara 2 pilihan, apakah akan masuk ke jalur sekolah formal atau homeschooling, baiknya orangtua dan anak melewati tahapan-tahapan berikut: 

(1) Menimbang kelebihan dan kekurangan masing-masing pilihan. Tentunya, baik sekolah maupun homeschooling memiliki kelebihan dan kekurangan. Tinggal memilih, mana yang lebih cocok bagi anak-anak kita. Dan apakah kita bisa mengantisipasi kekurangannya. 

(2) Melakukan diskusi keluarga secara mendalam tentang dunia homeschooling, apa yang akan dilakukan, apa saja kendala yang akan dihadapi, konsekuensi-konsekuensi, target yang ingin dicapai, sampai kapan akan menjalani homeschooling. 

(3) Orangtua sudah memiliki konsep pendidikan tentang anak-anak. Karena begitu memasuki dunia homeschooling, pendidikan anak-anak berada di tangan orangtua sepenuhnya. Lembaga non formal yang nanti mungkin terlibat dalam pendidikan, bukanlah penanggung jawab utama. 

(4) Menyelaraskan komunikasi antara kedua orangtua dan antara orangtua dengan anak. Komunikasi ini akan menjadi salah satu penentu kelancaran proses homeschooling, apabila nantinya memutuskan menjadi praktisi HS. Karena anak-anak akan berkomunikasi paling banyak dengan orangtua dibanding dengan orang lain di luar rumah. 

(5) Visioner dalam merancang rencana dan target pendidikan anak-anak. Menguatkan tekad, siap saling bekerja sama dan tidak saling mengandalkan. Namun saling membantu dan mengisi kekurangan satu sama lain. 


Untuk sementara, kelima poin ini yang terbayang dalam benak saya ketika memutuskan menjadi homeschooler 10 tahun silam. Jika nanti ada tambahan, insyaallah akan saya cantumkan lagi. Pun jika teman-teman ada masukan, silakan tuliskan di kolom komentar ya. 

Tetap semangat menentukan pilihan terbaik untuk anak-anak. 


No comments

Show me that you visited this blog. Thanks!