Petualangan itu Bernama Motherhood

bangga menjadi seorang ibu
 “Mi, I think you are the craziest mum I know.”

I wonder, if other mum ever done that kind of thing like what you did, Mi. It’s silly.”

Semacam itulah komentar anak-anak saya, yang sekarang usianya 17 dan 13 tahun. Mereka sering geleng-geleng kepala lihat kelakuan saya. Dorong-dorongan, tickle fight, jojogetan nggak jelas, nyanyi dengan suara asal. Kadang mereka bilang, “If your friend knew you were this silly, what would they say?”

Ya, jangan sampai mereka tahu lah. Begitu kira-kira respon saya. Walaupun saya sedikit buka kartu di sini.

Kali lainnya, saya bisa ngomel-ngomel panjang dan lebar. Atau murka sekalian, kalau ada hal-hal penting yang dilanggar oleh anak-anak.

Jujur, saya bukan ibu yang keren. Saya takut untuk ikut kajian atau seminar parenting, dengan alasan nggak mau merasa ditonjok karena segudang kesalahan dalam teknik parenting yang saya praktikkan ke anak-anak. Bukan saya nggak mau belajar, tapi jadi baper itu nggak enak.

Saya memilih belajar ilmu parenting lewat obrolan informal dengan ibu-ibu lain, istilah kerennya tacit knowledge, atau dengan membaca buku dalam kesunyian. Sehingga saya bisa menangis sendiri tanpa ada yang lihat.

Pengalaman belasan tahun menjadi seorang ibu, belum membuat saya bisa mempraktikkan ilmu parenting yang saya baca dengan benar. Masih banyak alpanya dan sering seenak udel sendiri. Saya masih susah bangun pagi, malas memasak dan sering pegang gadget. You name it, segudang catatan merah yang harus dihindari para orangtua, masih saya jalankan.

Monkey see, monkey do.

Saya paham sekali istilah ini. Yang menggambarkan bahwa seorang anak akan menirukan perilaku orangtuanya. Apa yang dilakukan oleh orangtua sehari-hari, makan akan terekam dalam memori anak sehingga membentuk perilakunya, cepat atau lambat.

Anak adalah cerminan orangtuanya. Maka kalau Anda melihat perilaku anak-anak saya yang ajaib, silakan judge saya. Karena bisa jadi karena mereka menyerap kelakuan emaknya yang super duper ajaib ini.

***



Menjadi seorang ibu adalah sebuah anugerah. Ini adalah kalimat tak terbantahkan yang diakui oleh 90% ibu di dunia. Bahkan bagi mereka yang punya anak tanpa direncanakan pun, melahirkan bayi yang selama 9 bulan mengandung, menggendong dan menyusuinya, akan membentuk hormon oksitosin dan endorphin yang berperan dalam kebahagiaan dan rasa syukur.

Begitu pula buat saya, yang begitu menikah ingin cepat punya anak dengan alasan kepingin berasa awet muda. Ketika anaknya remaja, saya belum tua-tua amat. Yang takut kalau kelamaan menunda anak, bakal ditanya-tanya keluarga besar saat kumpul bareng.

Alhamdulillah, Allah kabulkan doa dan ikhtiar saya dan suami. Pasca menikah tiga bulan, saya diizinkan melihat dua garis merah di test pack pertama yang saya coba. Garis kecil yang mengubah sejarah kehidupan seorang manusia. 

 

Mencari Panduan untuk Menjadi Ibu

Kata siapa nggak ada panduannya untuk jadi ibu? Banyak! Bahkan lima belas tahun lalu, ketika internet belum merajai informasi seperti hari ini, saya menemukan banyak panduan teknis untuk menjadi ibu.

Sejak hamil, saya sudah mengumpulkan dan membaca artikel dari beragam media cetak seperti Majalah Ayahbunda, Tabloid Nakita, Tabloid Nova, Majalah Parents dan sebagainya. Ada beberapa buku favorit juga yang menjadi panduan saya, seperti Catatan Kasih Bunda-nya Afifah Kalsum Ananda, Secret of The Baby Whisperer-nya Tracy Hogg dan lain-lain.

Meski internet sudah ada, tapi saya gaptek. Belum paham bagaimana masuk ke dunia maya yang katanya sudah mempunyai komunitas-komunitas parenting di yahoogroups. Buat saya, buku, majalah dan tabloid sudah cukup. Berbekal semua inilah saya mulai mengarungi petualangan yang seru menjadi orangtua.

Anak saya lahir melalui persalinan spontan. Nggak banyak drama dalam proses kelahirannya, selain mimpi penuh misteri yang saya ceritakan di awal. Drama anak sakit, dirawat, transfusi dan sebagainya sempat mewarnai. Namun alhamdulillah semua terlewati.

Karena saya juga masih tinggal bersama orangtua, ada orangtua, kerabat dan saudara-saudara yang ikut meriuhkan perjalanan motherhood saya. Kalau banyak orang mengeluh, kehadiran kerabat bisa mengganggu proses parenting yang sudah direncanakan oleh pasangan, buat saya nggak. Kehadiran saudara-saudara malah meramaikan dan bikin saya lebih santai, karena sesekali saya bisa titip baby kalau ingin me time sebentar, hihihi.

Saat itu, saya menggunakan artikel-artikel di majalah dan tabloid sebagai referensi atas beragam kondisi yang saya alami selama mengasuh anak pertama ini. Jadilah dia menjadi anak buku. Saya cenderung perfeksionis dan book-related dalam mengasuh anak. Bahkan, perkembangan si baby sejak dalam kandungan hingga usianya satu tahun, saya dokumentasikan lengkap menjadi sebuah jurnal harian.

Berapa lama saya bertahan?

Hanya hingga adiknya lahir, 3 tahun 9 bulan kemudian.

Ketika adiknya lahir, kami sudah punya rumah sendiri yang berada di kota berbeda dengan keluarga besar. Praktis, semua urusan keluarga saya urus sendiri. Bantuan utama, hanya dari asisten rumah tangga.

Petualangan yang sesungguhnya memang dimulai ketika kami mulai punya rumah sendiri dan tidak lama kemudian saya hamil dan melahirkan anak kedua.

Anak kedua ini, sama sekali bukan anak buku. Saya sudah nggak menggunakan referensi apa-apa dalam mengasuh keduanya. Semuanya mengandalkan insting dan pengalaman empat tahun pertama keluarga kami.

Apalagi kami juga harus berpindah-pindah alamat selama beberapa kali, mulai antar kota, antar pulau, hingga antar negara. Sehingga petualangan kami semakin terasa.

Menjadi stay at home mom di sebuah negara yang nggak mengenal asisten rumah tangga dan warteg pinggir jalan, bikin waktu saya sibuk bukan main. Padahal pasca saya cuti dari profesi saya sebagai dokter gigi, inginnya saya sibuk menulis saja. Semua hanya ada dalam angan-angan.

Jangan bermimpi bisa leyeh-leyeh, ketika semuanya harus dikerjakan sendiri. Mulai bangun tidur sampai akan tidur kembali, pekerjaan saya nggak ada yang selesai. Kadang saya lupa makan, lupa mandi dan lupa memanjakan diri. Petualangan yang satu ini berakhir dalam waktu dua tahun, hingga saya kembali ke tanah air.

Namun sekembalinya ke tanah air inilah, justru membuka sebuah pintu petualangan lain yang lebih seru bernama homeschooling. Ya, kami memulai homeschooling setelah anak pertama saya bersekolah di Australia hingga kelas 3, dan anak kedua setelah lulus TK. Semua keputusan untuk nggak melanjutkan sekolah kami ambil bersama-sama.

Selanjutnya, petualangan motherhood ini berubah menjadi petualangan homeschooling mom yang rasanya seperti jumpalitan. Seru luar biasa, sehingga seringkali nggak bisa digambarkan dengan kata-kata. Keputusan hampir nekat ini ternyata mengingatkan saya pada janji ketika usia saya di ujung tanduk, bahwa saya ingin terus hidup untuk menemani anak-anak.

Lewat homeschooling, perjalanan membersamai anak-anak menjadi sebuah totalitas. Bukan saja menemani mereka bertumbuh, namun kami bertumbuh bersama-sama. Buku panduan apa yang saya butuhkan untuk menjalani peran yang satu ini? Saya belum menemukan jawabannya. Satu dua buku kisah homeschooling belum membantu saya sepenuhnya menjalani keseharian ini.

Pun catatan yang saya tulis ini, belum tentu bisa menjadi panduan homeschooling bagi Anda yang akan memulai homeschooling dan membutuhkan panduan. Catatan dalam blog ini hanyalah sebuah cuplikan kisah-kisah, pengalaman sehari-hari yang penuh warna. Yang menggambarkan betapa menjadi seorang homeschooling mom sungguh berjuta rasanya.

Semoga Anda yang menemukan blog ini, merasa memiliki teman seperjalanan. Ya, Anda nggak sendiri. Jadi...keep fighting!

No comments

Show me that you visited this blog. Thanks!