Memory (by Windry Ramadhina)

 


Memori karya Windry Ramadhina berkisah tentang seorang gadis bernama Mahoni yang terjebak dalam kisah masa lalunya. Keluarganya yang hancur berantakan karena adanya orang ketiga di antara kedua orang tuanya.

Sebuah musibah kemudian memaksa Mahoni masuk lagi ke dalam lingkaran kelam itu, membuka semua kenangan pahit masa lalunya. Dia terpaksa hidup bersama adik tiri yang justru adalah orang yang paling ingin dijauhi saat itu.

Mahoni juga bertemu dengan Simon, lelaki di masa lalunya. Benturan-benturan hidupnya seakan terjadi dalam satu waktu. Sanggupkah Mahoni menemukan apa yang dia cari? Adakah kesempatan baginya untuk bahagia?

Novel ini memang pilihan yang bagus untuk dibedah isinya dan dijadikan bahan belajar. Setiap sudutnya bisa menyihir dan membuat pembaca terkagum-kagum, begitu detil penulisnya mendeskripsikan setiap adegan dan scene.

Sebelumnya, saya pernah mendapat ilmu dari Kang Tasaro tentang memasukkan semua unsur yang tertangkap oleh indera kita, dan seperti itulah Windry mendeskripsikan isi novelnya. Mulai dari warna, misalnya warna kuning mentega dan kuning aprikot yang sudah matang, merupakan sesuatu yang baru bagi saya. Kok kepikiran, ya, itu komen pertama saya.

Juga deskripsi tentang latar belakang si tokoh, saya angkat topi tentang bagaimana Windry selalu benar-benar masuk ke dalam dunia tokoh yang diciptakannya. Tidak pernah ada unsur tempelan. Saya bahkan membayangkan, berapa lama riset yang Windry butuhkan, ya? Jangan-jangan lebih lama risetnya daripada menulisnya.

Dalam novel Memory, Windry memang menggunakan dunia arsitektur sebagai latar belakang karakter, sama dengan dunia penulisnya. Tak heran, dia paham betul tentang ini. Namun di novel lainnya, Windry juga bisa all out masuk ke dunia si tokoh.

Lalu tentang alur, cuplikan-cuplikan flashback di awal chapter itu mempermanis alur majunya. Ya, semua alur dibuat maju. Alur mundur hanya berupa pendahuluan singkat di awal chapter. Keren banget.

Apalagi diksi Windry memang sangat matang. Dia konsisten dengan bahasa baku, tanpa membuat pembaca merasa seperti berhadapan dengan novel terjemahan. Semua masih terasa ringan untuk dikunyah. Ini menepis anggapan bahwa bahasa baku bisa membuat novel jadi kaku. Tidak sama sekali.

Tiap sudut cerita dideskripsikan dengan baik, tanpa melewatkan satu missing link antara plot. Konsisten. Bahkan, di beberapa penulis yang bisa dibilang senior, masih sering ditemukan unsur kebetulan dan dipaksakan alurnya.

Windry menceritakan setiap jeda kehidupan Mahoni dengan sempurna.

No comments

Show me that you visited this blog. Thanks!