Adab Mengajarkan Al Quran

Sebelum saya memaparkan tentang pembahasan adab mengajarkan AL Qur’an ini, izinkan saya membuat sebuah disclaimer bahwa sebetulnya saya belum merasa pantas untuk sharing materi ini. Karena apa yang dibahas terkait adab mengajarkan Al Qur’an ini rasanya buat saya masih jauh panggang dari api. Masih jauh pelaksanaannya.

Jadi apa yang akan saya paparkan, sejatinya merupakan nasihat buat diri saya yang masih perlu diingatkan terutama terkait amalan-amalan yang berhubungan dengan Al Qur’an.

Mohon maaf kalau sekiranya masih belum mengena di hati teman-teman, karena untuk bisa menyampaikan satu materi, pastinya akan terasa ruhnya jika sudah diamalkan. Namun untuk materi ini, jujur saya masih jauh sekali pengamalannya. Semoga Allah ampuni segala kekhilafan saya. Aamiin

Sebagai seorang muslim, sudah pasti harus terus mempelajari dan memperbaiki adab-adab terkait belajar Al Qur’an karena aktivitas kita tidak jauh seputar dari mempelajari Al Qur’an di sebuah majelis ilmu, dimanapun dan dengan siapapun. Sehingga, adab adalah pegangan awal kita.

Sebagaimana Imam Darul Hijrah, yaitu Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Yusuf bin Al Husain juga berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

 


Kita juga memahami, banyak kewajiban-kewajiban kita terhadap Al Qur’an, diantaranya: membaca, memahami, mentadabburi, menghapalkan, mengamalkan dan mengajarkannya.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “ “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

Hadits tersebut menegaskan bahwa mempelajari dan mengajarkan Al Qur’an merupakan perbuatan yang paling mulia dan urgen dalam Islam. Hal ini tak lepas dari fungsi Al Qur’an yang menjadi petunjuk serta jalan keselamatan bagi setiap pemeluknya.  Maka tak heran jika mempelajari dan mengajarkannya dinilai sebagai sebaik-sebaik amalan di sisi Allah.

Nash-nash syar’i baik dari Al Qur’an, hadits atau perkataan para ulama yang menegaskan akan hal itu tidak sedikit. Salah satunya adalah hadits diatas, yang disampaikan oleh sahabat Ustman bin Affan yang mendengar Rasulullah SAW mengucapkannya.

Selain itu, urgensi belajar dan mengajarkan al qur’an juga terletak pada  berbagai dampak positif  yang muncul darinya. Dampak-dampak positif yang ada tidak hanya terbatas bagi individu saja, namun juga bagi masyarakat luas.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Sya’ban Ramadhan Mahmud dalam bukunyaMinal Atsar al-Imaniyah li Ta’lim wa Ta’alum Al-Qur’an al-Karim ‘ala al-Fardi wa al-Mujtama’. Adapun dampak-dampak positif bagi individu secara garis besar ada lima, yaitu;

Pertama, ketenangan hati dan jiwa. Ini disebabkan karena Allah menjadikan Al Qur’an sebagai Syifaan (Obat penyembuh) segala macam penyakit hati. Contohnya, syubhat-syubhat, keraguan dan berbagai penyakit lain yang menodai hati. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS. Yunus  ayat 57 yang berbunyi, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Ibnu Katsir 1999: 4/274)

Kedua, meraih keistiqamahan. Hal ini karena hati dan pikirannya senantiasa disibukkan dengan al quran, sehingga ia mampu menundukkan hawa nafsunya untuk taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketundukan tersebut terimplementasikan melalui keselarasan hati, pikiran dan anggota badan dengan aturan-aturan Islam yang ada. Selain itu, istiqamah  pula lah yang nantinya melahirkan rasa takut dan senantiasa diawasi oleh Allah.

Ketiga, kesadaran akan kelemahan dan keterbatasan diri. Kesadaran semacam ini diraih dengan mentadabburi ayat-ayat yang berbicara akan kekurangan-kekurangan pada diri manusia. Seperti sifat-sifat negatif  berupa senantiasa berkeluh kesah, sulit menerima keputusan-Nya jika tidak sesuai dengan kehendak pribadi, diciptakan dari air yang hina dan lain sebagainya. Maka melalui kesadaran tersebut, diharapkan nantinya akan melahirkan rasa selalu butuh akan pertolongan Allah. Selain itu, ia juga sadar untuk tidak pantas sombong karena hanya Allah Dzat Yang Maha Sempurna.

Keempat, lembut dan  lapangnya hati dalam menerima kebenaran. Bukti nyata akan hal ini diabadikan oleh tinta emas sejarah Islam awal kemunculannya. Salah satunya kisah sahabat mulia duta Islam pertama Mush’ab bin Umair. Sahabat yang terkenal tampan, serba berkecukupan serta dari keturunan mulia ini berdakwah ke negeri Yatsrib dengan mengajarkan Al Qur’an. Melalui dakwahnya, ia mampu mengislamkan dua pemimpinkaum Auz dan Khazraj, Saad bin Muadz dan Usaid bin Khudair. Dan dengan masuknya dua tokoh ini ke dalam barisan kaum muslimin, akhirnya dakwah Islam lebih mudah diterima oleh mayoritas penduduk Yatsrib.

Kelima, mendapatkan berbagai macam  kebaikan dan keutamaan di akhirat. Kebaikan dan keutamaan tersebut dapat berupa derajat yang tinggi di sisi Allah, sebagai lentera dan penerang di alam kubur, mendapatkan syafaat-nya(pertolongan). Sebagaimana yang ditegaskan oleh baginda Rasul melalui haditsnya, Bacalah Al-Qur`an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberikan syafaat (pertolongan) bagi pembacanya”(HR. Muslim). Dan membaca Al Qur’an termasuk dalam kategori mempelajarinya.

Sedangkan dampak-dampak positif dari belajar dan mengajarkan al Quran bagi masyarakat tidak jauh berbeda dengan  apa yang diraih oleh individu. Hal ini karena masyarakat pada hakikatnya merupakan kumpulan dari individu-individu. Sehingga dapat dipastikan jika individu-individu suatu masyarakat itu baik, maka akan baik pula lah masyarakat tersebut.

Namun, masih menurut Dr. Sya’ban Ramadhan Mahmud,ada  satu dampak positif terpenting dari  belajar dan mengajarkan Al Quran bagi masyarakat. Dampak tersebut yaitu terciptanya kehidupan bermasyarakat yang Islami. Wujud dan implementasinya dapat dilihat kepada tiga hal berikut;

Pertama, kuatnya persaudaran dan persatuan di antara masyarakat. Hal ini karena melalui individu-individu yang baiklah lahir masyarakat yang senantiasa menghindari segala tindakan yang menjurus kepada perpecahan dan permusuhan.

Kedua, terciptanya muamalah yang sesuai koridor syariat khususnya dalam jual beli. Hal ini terlihat dari muamalah mereka yang mencerminkan nilai-nilai islami. Seperti bersih dari penipuan, mengurangi timbangan dan hal-hal yang merupakan pelanggaran terhadaphak konsumen. Dan mualamah semacam ini hanya akan terwujud melalui individu-individu yang sadar dan paham akan hukum-hukum yang berkenaan dengan muamalah.

Ketiga, suasana damai dan tentram. Wujud dari dua hal ini dapat berupa tingginya rasa saling menghormati dan mencintai sesama individu masyarakat, saling bahu-membahu mengatasi beban dan menyelesaikan permasalahan pribadi dan umum dan suasana-suasana positif lainnya. Semua ini hanya akan terwujud melalui masyarakat yang mengerti dan mengamalkan hak dan kewajiban hidup bermasyarakat.

 

ADAB MENGAJARKAN AL QUR’AN

1. Berakhlaq Qur’ani

Nabi Muhammad Saw adalah manusia sempurna yang telah menjadikan diri beliau sebagai pribadi Qurani. Hal ini diketahui dari Aisyah radhiyallahu anha ketika sahabat bertanya tentang pribadi Rasulullah. Aisyah menjawab dengan singkat, “Beliau berkepribadian Qurani”.

Berdasarkan jawaban tersebut, para sahabat yakin dengan sepenuh hati, bahwa Rasulullah benar-benar manusia berakhlak mulia yang mendasarkan setiap ucapan dan perilakunya berdasarkan Al Quran yang agung.

Bahkan, Allah Swt sendiri menyatakan pujiannya akan akhlak  Rasulullah dalam salah satu ayat, “Dan sesungguhnya, engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS Al Qalam [68]: 4).

Oleh karena itu, orang yang mengajarkan Al Qur’an harus meneladani sifat-sifat Rasulullah SAW ini. Menjadikan Al Qur’an sebagai panduan hidupnya sehingga apa yang diajarkan, tidak hanya bisa diekspresikan lewat kata-kata namun juga tergambarkan dalam akhlaq kesehariannya.

Menjadi manusia yang berakhlaq Qur’ani tentunya bukan pekerjaan yang tuntas dalam sehari semalam, melainkan butuh waktu yang amat panjang. Oleh karena itu, kunci utamanya adalah ISTIQOMAH. Dan yang paling berat dalam menjalankan keistiqomahan ini adalah hadirnya syeitan yang menggoda kita dan dorongan hawa nafsu dunia.

Syeitan akan terus menyesatkan kita, agar kita lalai, malas dan futur. Kondisi-kondisi ini tak luput juga dialami oleh para pengajar Al Qur’an. Untuk bisa mengatasi penyakit-penyakit ini, kembali ke Al Qur’an adalah obatnya. Memaksakan diri untuk berpegang pada Al Qur’an tatkala sedang malas, mempunyai lingkungan yang kondusif dan berteman dengan orang-orang shalih juga bisa menjaga kita dari kemalasan yang berkepanjangan.

 

2. Memberikan semangat

Seorang pengajar diharapkan bersemangat dalam mengajar, mengutamakan pekerjaan mengajar daripada kepentingan duniawi yang tidak begitu mendesak. Hendaknya dia tidak menyibukkan hatinya dengan hal lain ketika tengah mengajar. Tidak kenal Lelah didalam memahamkan murid dan menjelaskan apa yang ingin mereka ketahui, serta menyuruhnya untuk mengulang hafalannya.

Kemudian, dia juga menularkan semangat tersebut kepada mad’u-mad’u-nya, menjelaskan manfaat yang dia rasakan selama belajar Al Qur’an, kenikmatan yang dirasakan saat berinteraksi dengan Al Qur’an.

Menurut Imam Nawawi, “Hendaklah seorang guru memberikan motivasi murid-muridnya pada ilmu dan mengngatkannya kepada keutamaan-keutamaan ilmu serta keutamaan-keutamaan ulama, bahwa mereka adalah pewaris para Nabi, dan tidak ada tingkatan lebih tinggi daripada ini.”

 

3. Bersikap lembut

Nabi Muhammad, SAW pernah bersabda:

“Sesungguhnya oramg-orang akan mengikuti kalian. Sungguh akan datang kepada kalian orang-orang dari berbagai penjuru bumi untuk mendalami pemahaman tentang agama ini; jika mereka mendatangi kalian, perlakukan mereka dengan baik.”

 

4. Memberikan pelajaran secara bertahap

Ini juga merupakan salah satu poin yang diajarkan oleh Imam Nawawi bagi pengajar Al Qur’an. Hendaknya seorang guru mendidik murid secara bertahap dengan adab-adab sunnah dan perilaku-perilaku yang diridai Allah.

Juga membiasakan dirinya dengan adab-adab dan perilaku-perilaku yang tidak terlihat serta melatihnya dengan menjaga diri dalam segala kondisi, baik tampak maupun tersembunyi.

 

5. Bersikap netral terhadap semua murid

Pengajar Al Qur’an tidak boleh memilih muridnya hanya ingin dari kalangan sosial tertentu, latar belakang pendidikan tertentu, status ekonomi tertentu. Karena belajar Al Qur’an adalah hak bagi setiap muslim, dan orang yang memiliki ilmunya wajib mengajarkan sesuai keilmuannya tanpa tebang pilih.

Sehingga dalam bersikap, seorang pengajar Al Qur’an harus bersikap netral. Tentunnya sikap ini juga dalam rangka meneladani akhlaq Rasulullah yang selalu bersikap baik kepada siapa saja, bahkan kepada pengemis buta.

Akhlaq dan adab baik pengajar Al Qur’an tentunya menjadi kunci sukses dalam berlangsungnya transfer ilmu kehidupan ini. Tentunya menjadi pengajar Al Qur’an tidak mudah bagi kita, karena kita harus terus membina diri, nertarbiyah diri kita agar berakhlaq baik dan terus upgrade ilmunya. Namun tatkala mengingat keutamaan-keutamaannya serta pahala yang Allah sediakan, semoga tidak membuat semangat kita luntur. Semoga Allah mampukan langkah-langkah kita untuk menjadi manusia yang berakhlaq Qur’ani hingga akhir usia kita. Aamiin

No comments

Show me that you visited this blog. Thanks!