Apakah momen paling mellow yang terjadi dalam kehidupan seorang ibu? Banyak jawabannya. Mungkin ada yang menjawab, ketika melahirkan. Atau ketika anaknya wisuda kelulusan. Bahkan mungkin ada yang menjawab ketika anaknya menikah.
Selalu ada momen yang membuat seorang ibu tiba-tiba mellow. Ngga bisa dipilih mana yang paling tinggi level ke-mellow-annya, karena kesan di tiap kejadian pasti berbeda.
Sebuah momen yang menurut saya cukup menguras hati dan emosi, salah satunya adalah ketika kami mengantar Naufal pindahan ke Kyoto untuk kuliah. Saat memasuki dorm pertama kalinya. Lalu saat mengisi ruangannya dengan berbagai perabot. Dan yang paling sedih, ketika kami berpisah di bandara, meninggalkannya di Kyoto untuk kembali ke tanah air.
Meski bukan perpisahan yang panjang, tapi buat kami keluarga praktisi homeschooling yang terbiasa bersama-sama dalam keseharian, terpisah dalam jarak dan waktu yang berbeda, adalah satu hal yang besar.
Tapi dibanding keharuan dan kesedihan ini, ada rasa bangga bahwa Naufal sudah bisa sampai ke titik ini. Perjuangannya untuk bisa lolos seleksi dan belajar ke Jepang, adalah momen yang harus disyukuri. Sesampainya di sana, merupakan momen resmi dia menjadi pelajar Indonesia di Jepang. Serasa mimpi buat kami.
Ini berarti, dia adalah anggota keluarga pertama di keluarga besar yang mencicipi menjadi mahasiswa di luar negeri. Seperti saya dulu, merupakan anggota keluarga pertama yang lulus masuk PTN dan menjadi calon dokter. Alhamdulillah setelahnya, lahir banyak dokter baru dan kelulusan PTN di keluarga besar.
Semoga ini juga menjadi pintu pembuka bagi keluarga besar, menjadi inspirasi buat mereka dan penyemangat untuk maju.
Satu hal yang membuat kami terasa mellow, karena melepas Naufal berjuang sendirian. Artinya, dia akan menjadi pemuda mandiri untuk mengurus segala keperluannya dari A sampai Z. Cukupkah bekal yang kami siapkan untuk dia? Apakah kami sudah lapang dada menerima segala pilihan hidupnya kelak? Apakah kami siap ditinggal di rumah tanpa ada Naufal yang biasa membantu dalam keseharian?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang memenuhi hati saya.
Naufal sendiri, tampak tidak ada keraguan. Pun setelah satu tahun berlalu (saat saya membuat tulisan ini, Naufal sudah setahun berada di Jepang), dia sudah bisa bertahan melewati semua lika-liku dan jatuh-bangunnya kehidupan di Jepang seorang diri.
Ketika melepas Naufal, saya merasa sedang melepas sebuah anak panah. Yang tadinya masih diasah, bahkan mungkin belum cukup tajam, akhirnya harus siap diluncurkan ke dunia nyata. Dan dalam jarak yang tidak dekat, tentu saja kami akan terus membersamainya. Menjadi tempatnya kembali dan melepas lelah.
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!