“Hanya dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai, lantas memutuskan pergi naik kapal apapun yang bisa membawanya sejauh mungkin ke ujung dunia. Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam.”
Itu kata Kapten Phillips sejenak setelah melihat pemuda pendiam itu begitu keras hati ini menjadi salah satu kelasi kapalnya.
Ada jawaban yang diberikan oleh Gurutta Ahmad Karaeng, sang mualim asal Makassar yang paling dihormati di dalam kapal itu, terhadap pertanyaan-pertanyaan para penumpang yang dalam cerita ini mengambil bagian yang hampir sama besar. Ambo Uleng, Daeng Andipati, Bonda Upe, Mbah Kakung dtigaan pertanyaannya sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan besar yang disampaikan keempat penumpang pada Gurutta ternyata memiliki kekuatan dahsyat yang mampu mengubah hidup mereka. Pun pertanyaan besar Gurutta yang dia simpan sendiri, ternyata menjadi jawaban masalah besar yang mereka hadapi di konflik terakhir cerita ini. Oya, tak lupa diceritakan tentang tokoh kecil bernama Anna yang menjadi jembatan seluruh tokoh besarnya.
Tere Liye, seorang penulis yang selalu menjadi favorit saya. Buku-bukunya mempunyai kekuatan yang menyisakan kesan dalam seusai membacanya. Saya seringkali ikut tenggelam bersama kisah-kisahnya, dan butuh waktu lama untuk lepas kembali ke dunia nyata saya. Keren, kan.
Kalau dilihat secara keseluruhan, cerita ini tampak membosankan. Buku setebal lebih dari 500 halaman, memiliki setting sebuah kapal besar yang sedang berlayar dari beberapa kota di Indonesia menuju Mekkah, Saudi Arabia. Dalam rentang waktu yang pendek, kisahnya dibuat berulang, yaitu berisi aktivitas harian para penumpang.
Tapi jangan salah duga, ternyata kisah ini sama sekali tidak membosankan. Sebaliknya, pengulangan kejadian membuat karakter-karakternya semakin kuat. Dimana tiap scene muncul kisah baru, yang meski sederhana namun berpengaruh dan terikat pada kisah-kisah selanjutnya. Sehingga tidak mungkin dilewatkan.
Selain kapal, beberapa kota juga menjadi setting singkat namun kuat. Seperti Makassar, sebagai asal sebagian besar tokohnya, Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung dan Aceh. Juga sebuah perairan di dekat Somalia. Tidak ada konflik besar dalam cerita ini. Namun, dari konflik-konflik kecil yang cepat diselesaikan, pembaca jadi tidak kesal mengingat halamannya yang lumayan tebal.
Dalam tiap chapternya, penulis menuliskan ending yang membuat penasaran. Saya banyak menggarisbawahi kalimat-kalimat yang powerful dan inspiring. Namun terlalu banyak untuk dituliskan di sini. Namun, saya akan menuliskan blurb-nya:
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, Dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tak menuntut apapun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Sedikit kritik, yaitu tentang bahasa Belanda yang tidak diterjemahkan gamblang membuat pembaca menerka-nerka artinya.
Pada akhirnya, buku ini memang tentang sebuah kerinduan. Bagaimana pembaca menerjemahkan bentuk kerinduan dan obatnya, saya pikir kita pasti punya cara yang berbeda. Silakan membaca untuk mencari jawabannya.
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!