Kalau dalam judul di atas saya sebut sebagai tantangan, ini sebenarnya hanya untuk memberikan kesan keren atau formal. Karena yang lebih cocok adalah “Kegalauan Para Homeschooler Pemula”. Tulisan ini sebagian besar dibuat berdasarkan pengalaman pribadi, sisanya dari curhatan bersama beberapa teman.
Saya mengatakan ini kegalauan homeschooler pemula, bukan berarti setelah kita menjadi pelaku HS selama bertahun-tahun, kita jadi bebas galau. Tidak sama sekali. Karena justru akan muncul kegalauan yang lain, yang levelnya berbeda. Dimanapun kita berada, galau akan selalu ada. Jadi kalau Anda galau, jangan sedih, Anda nggak sendiri. Dan kalau Anda merasa bebas galau, saya nggak percaya. Hehehe.
Beberapa poin agaknya terasa berlebihan atau lebay ;p, tapi beneran deh, beberapa orang memang mengalaminya. Kalau ada yang perlu dikritisi atau membantu memecahkan kegalauan ini, saya terbuka banget. Silakan tambahkan atau beri komentar, ya.
Yang pertama, kegalauan ini saya beri nama: Kenyataan Yang Tidak Sesuai Dengan Harapan
Banyak pelaku HS itu menimbang-nimbang sebelum benar-benar terjun ke dunia HS. Membaca referensi lewat buku, website, grup komunitas bahkan ada yang langsung memata-matai eh menyaksikan aktivitas pelaku HS yang lebih senior.
Saat mencari tahu tentang HS lewat website atau buku seringkali kita mendapat informasi tentang sisi baik homeschooling; bagaimana prestasi anak-anak mereka dan konsep-konsep pendidikan yang terasa menjanjikan. Apalagi bagi mereka yang merasa pernah dikecewakan oleh dunia pendidikan formal.
Lalu, ketika mencoba HS langsung, belum apa-apa langsung drop. Kecewa dan frustasi. Kok, susah banget mengondisikan anak saya seperti yang saya baca di buku-buku atau blog HS.
Bayangan kita, anak-anak akan siap memulai homeschooling dengan manis, mau bekerja sama dengan orang tua mengikuti time management yang sudah disiapkan, mengerjakan aktivitas sesuai rencana. Ternyata, bangun pagi aja susah. Boro-boro on time, si anak berasa liburan melulu. Bangun tidur pengennya main game, nggak pake mandi pula.
Nggak usah panik saudara-saudara. Hal ini biasa terjadi, apalagi kalau anak-anak kita termasuk anak yang putus sekolah, alias pernah mengalami pendidikan formal. Wajar kalau si anak belum mau mengikuti keinginan orang tua langsung, karena mereka masih merasa euphoria nggak perlu bangun pagi dan mandi untuk sekolah. Mereka ingin menikmati liburan tanpa batas.
Itulah kenapa, dalam memulai HS dikenal istilah DESCHOOLING, yang artinya proses peralihan dan adaptasi dari dunia sekolah yang serba diatur oleh sistem, ke dunia homeschooling dimana kita yang harus menciptakan sistem. Dalam deschooling ini, baik anak-anak maupun orang tua sama-sama perlu proses adaptasi untuk bisa melepaskan diri dari kebiasaan sebagai pelaku pendidikan formal.
Proses deschooling dalam tiap keluarga berbeda. Ada yang bisa dilakukan dalam hitungan bulan, ada juga yang sampai bertahun-tahun. Dalam fase ini, orang tua seperti naik rollercoaster. Kadang ada pikiran ingin menyerah, mengembalikan anak ke sekolah dan merasa nggak mampu mendidik anak.
Kok, para homeschooler lain nggak mengalami? Kenapa anak-anak saya begini?
Jangan salah, lho. Para homeschooler itu, ketika mereka menceritakan semua aktivitas atau keseruan mereka, hal-hal menyedihkan di balik layarnya nggak diceritakan juga. Namanya juga pencitraan ;p. Padahal, kalau mengintip dari pintu belakang, mereka mengalami juga tuh berantem sama anak, nangis di kamar mandi karena bingung atau curhat pada suami tiap malam (eh ini mah saya semua). Mereka saling curhat juga kok, minta masukan teman seperjuangan dan berusaha menyabarkan diri.
Stop stress! Galau boleh, frustasi jangan (jitak pala sendiri). Biarkan anak-anak menemukan sendiri waktu terbaiknya untuk bergerak. Kita bertugas sebagai polisi lalu lintas aja, menjaga agar mereka tetap di jalur aman.
Yang penting ada prinsip-prinsip yang selalu kita pegang, seperti:
1. Mengomunikasikan apa tujuan berHS.
2. Banyak berkegiatan bersama.
3. Orang tua menyampaikan poin-poin target buat mereka, tapi
jangan buat target terlalu tinggi. Yang penting, mereka selalu bergerak dan
melakukan hal positif.
4. Tanyakan apa keinginan anak.
5. Membuat rencana bersama anak.
6. Hargai sekecil apapun usaha mereka, meski hanya keberhasilan
membereskan tempat tidur sendiri, bangun pagi tepat waktu, atau saat
mengucapkan terima kasih.
7. Orang tua saling menguatkan. Bisa jadi, para istri yang
seharian di rumah stress menghadapi anak-anak. Nah, para suami harus siap
dicurhatin dan jangan menjudge apapun pada istri. Beri dukungan positif dan
bantu sebisanya.
Sejauh ini, beberapa poin di atas berhasil buat saya saat sedang super galau. Eeeh, saya termasuk sering banget galau, makanya bisa menulis ini. Alhamdulillah, sekarang galau yang ini sudah banyak berkurang (hmmm, iya gak ya?), tapi bukan berarti proses Deschooling kami selesai.
Ya, saya masih merasa anak saya yang pertama masih dalam fase Deschooling. Wallahu’alam sampai kapan, mungkin sampai saya benar-benar sudah bisa membiasakan dia melakukan aktivitas yang kami sepakati bersama tanpa diingatkan. Atau dengan kata lain, sudah mampu belajar mandiri.
Kalau pada anak kedua, sepertinya tidak ada proses Deschooling karena dia belum sempat mengikuti pendidikan formal yang terstruktur seperti kakaknya. Yang ini dirasa less challenging.
Oke, ini baru galau yang pertama. Kegalauan berikutnya akan
saya tuliskan dalam postingan berikutnya. Stay updated, ya.
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!