Satu rezeki tidak ternilai buat saya bisa traveling ke Toraja. Saya selalu menyukai belajar tentang kebudayaan lokal suatu daerah, berinteraksi dengan warga lokal, mengenal seluk beluk kearifan lokal yang berlaku di sana dan membuat catatan pribadi. Catatan ini sungguh terlambat, mengingat saya mengunjungi Toraja di tahun 2019, sebelum pandemi melanda bumi ini.
Untuk kali ini, pepatah "Better late than never" rasanya cocok. Idenya baru datang sekarang, kesempatannya juga.
BERANGKAT KE TORAJA DENGAN SLEEPER BUS
Saya dan suami melakukan traveling ala backpacker berdua saja, tanpa anak-anak. Kami mendarat di Makassar sekitar pukul 10 pagi. Dari bandara kami sempat mengunjungi Taman Nasional Bantimurung dan menghabiskan waktu siang dan sore di sana. Lalu kembali ke Makassar menjelang malam.
Driver mobil sewaan kami mengajak berkeliling, lalu kami sempat mencicipi kuliner khas-nya yaitu Coto Makassar. Perjalanan sehari itu cukup melelahkan. Enaknya memang langsung check in ke hotel untuk istirahat.
Alih-alih istirahat, kami merancang perjalanan malam ke Toraja hari itu juga. Alhamdulillah kami bisa membeli tiket Sleeper Bus on site dan tinggal menunggu waktu keberangkatan. Insyaallah bus akan berangkat pukul 9, lama perjalanan kurang lebih 10 jam. Praktis, sepanjang perjalanan kami akan tidur sampai pagi.
Satu hal yang ajaib, kami berangkat dari rumah sebelum waktu Subuh. Artinya kami mandi pagi ya sepagi itulah, kira-kira jam 3an. Hingga sore itu, usai seharian berkegiatan di sekitaran Makassar dengan cuaca terik, badan kami amat sangat lengket. Dan kami tidak punya kamar hotel untuk menyempatkan mandi. Akhirnya saya memutuskan mandi di sebuah pom bensin sebelum kami menuju pool bus. Sementara suami bertahan tanpa mandi, karena malas mandi di toilet umum.
Saya juga nggak suka menggunakan toilet umum, apalagi untuk mandi. Ribetnya luar biasa. Tapi itu membantu menyejukkan fisik dan mental, paling nggak badan gak terlalu lengket, kan.
Pukul 9 malam, sleeper bus yang kami tumpangi berangkat. Oya, kami menggunakan sleeper bus Primadona dengan harga tiket Rp 250.000/orang. Itu pertama kalinya saya menumpangi sleeper bus, rasanya nyaman, dengan sandaran kursi yang bisa rebahan plus sandaran kaki, dilengkapi bantal dan selimut wangi. Nyaman sekali. Sampai sepanjang jalan saya benar-benar tidur nyenyak.
Sempat sesekali terbangun, lalu melihat kegelapan di luar jendela. Gak kelihatan sedikitpun cahaya lampu jalanan atau lampu dari rumah penduduk. Gelap gulita. Terasa jalanan juga berkelok-kelok. Saya menyingkirkan segala kekhawatiran sambil merapal dzikir dan kembali tidur.
Hingga kira-kira pukul 6 pagi, kami berhenti di sebuah area mirip kota kecamatan. Banyak kios-kios pedagang, namun belum ada yang buka. Di Pulau Jawa, area seperti itu pasti sudah ramai dengan penjual makanan untuk sarapan seperti bubur ayam, nasi kuning, lontong sayur, pedagang kue basah dan gorengan, dll.
Tapi di Rantepao, Toraja Utara itu hanya ada deretan ojek motor yang menyambut kedatangan para penumpang bus. Berharap nemu warung yang buka untuk membeli cemilan, ternyata gak ada sama sekali. Alhamdulillah, kami dijemput oleh driver, seorang kenalan suami yang asli Toraja. Beliau adalah mahasiswa yang kuliah di Makassar, tapi sedang liburan pulang ke kampungnya.
Namanya Alex. Beliaulah yang seharian itu menjadi guide kami, mengantarkan kami keliling area Toraja sambil menjelaskan semua yang dia tahu tentang budaya lokal.
KEMBALI NAIK SLEEPER BUS MALAM UNTUK PULANG KE MAKASSAR
Cerita tentang keunikan Toraja akan saya tuliskan di postingan berikutnya ya. Kali ini, saya ingin menceritakan kisah perjalanan selama dua malam di atas bus. Ya, malam itu juga kami kembali ke Makassar di waktu yang sama. Berangkat dari Toraja pukul 9 malam dan tiba di Makassar kira-kira jam 5.00 pagi. Lebih cepat daripada saat keberangkatan.
Namun ini justru membingungkan karena suasana Makassar masih gelap. Sedikit horor juga berdiri di pinggir jalan saat suasana masih lengang, gak tahu mau kemana dan mencari masjid atau mushola untuk shalat Subuh.
Alhamdulillah dari google kami menemukan McD 24 jam yang gak terlalu jauh dari tempat kami. Berjalan ke sana, shalat subuh dan sarapan. Leganya bisa menyantap makanan halal dengan tenang, karena selama di Toraja kami benar-benar kesulitan mencari makanan yang bisa dimakan.
Di sepanjang jalan, memang banyak warung-warung. Tapi semuanya menyajikan makanan non halal. Kami tetap gak berani makan ayam atau sapi, karena dimasak bersama-sama dengan daging B2. Dan gak tahu juga penyembelihannya bagaimana. Bahkan penjual bakso pun membuat tulisan seperti ini di kedainya: JUAL BAKSO BIASA dan BAKSO SAPI.
Nah, bakso biasa ini terbuat dari apa gerangan?
Jadi, ketika ada wacana wisata halal Toraja, saya menyambut baik sekali. Sebab dengan adanya konsep Wisata Halal ini, tentu membantu bagi wisatawan Muslim yang sedang mengunjungi Toraja, nggak kesulitan mencari makanan halal dan mencari tempat ibadah.
Konsep wisata halal ini bukan untuk menghapuskan kearifan lokal Toraja yang unik dan indah. Semua justru harus dilestarikan sebagaimana mestinya, karena ini daya tarik dan bukti keragaman Indonesia. Alangkah baiknya bagi daerah Toraja sendiri jika banyak wisatawan yang datang, bukan? Menambah pemasukan daerah dan meningkatkan potensi daerah tersebut.
Tentang perjalanan kami dua malam di atas sleeper bus, adalah satu pengalaman seru. Suami sudah tiga hari tidak mandi. Kami belum benar-benar ganti pakaian secara proper. Belum sempat rebahan di atas kasur. Beneran traveling ala backpacker, jadi berasa kembali ke masa muda. Dulu malah nggak sempat ngalamin backpackeran.
Setelah tiba kembali di Makassar, kami masih melanjutkan perjalanan keliling kota dan menyeberang pulau pakai kapal menuju Pulau Samalona untuk snorkeling. Di sore hari, barulah kami bisa bertemu kamar mandi yang sesungguhnya, mandi sebersih-bersihnya dan istirahat meluruskan punggung. Karena esoknya, masih ada itinerary lain yang menunggu sebelum kembali ke Jakarta di sore hari.
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!