Sebuah Fase Hidup: How I Grow Recently


Dulu, di masa kuliah, saya dan beberapa pengurus BEM kampus mengikuti leadership training. Dalam salah satu sesinya, kami melakukan refleksi diri. Saat itu acaranya bernama auto critics. Dimana masing-masing dari kita saling menuliskan hal-hal baik dan kurang baik untuk dijadikan refleksi. Tidak boleh ada rasa tersinggung atau marah, karena ini merupakan perasaan terdalam satu sama lain.

Salah seorang teman mengatakan satu hal yang membuat satu pengingat besar bahkan hingga hari ini. Saya benar-benar berkaca diri dari hal itu. Dia bilang kalau saya itu PELIT. 

Saya nggak kaget, karena saya sangat sangat menyadari bahwa saya sangat perhitungan dalam banyak hal. Jangankan untuk orang lain, untuk diri sendiri saja saya perhitungan sekali. Namun yang bikin saya shock, kok ternyata ada teman saya yang sadar dan artinya dia terzhalimi karena sifat pelit saya. Saya pikir, itu memang hak saya untuk memperhitungkan segala hal, karena sifat saya yang antisipatif. 

Sejak hari itu, saya sangat takut dicap pelit. Apalagi kemudian saya belajar lebih banyak tentang Islam dan konsep rezeki. Ini membuat saya pelan-pelan tidak mau terikat dengan harta. Kalau memang ada yang membutuhkan, dan saya punya lebih, silakan ambil. Urusan nanti, biarlah Allah yang menanggungnya. Karena Allah maha Tahu ketika saya butuh, maka Allah juga yang akan mencukupkan. 

Saya sangat percaya itu. Alhamdulillah hingga saat ini, saya ngga pernah kekurangan. Allah selalu memberi tambahan rezeki dari arah yang nggak disangka-sangka, padahal pemberian saya kepada orang lain juga nggak banyak, hanya sebatas yang mereka minta.

Pun dalam berteman. Dulu, saya merasa kalau saya itu jutek banget, super introvert, irit bahasa, tidak mau terlalu banyak bergaul dengan orang lain. Perjalanan hidup membuat sifat saya lebih sosial. Saya suka berorganisasi, cari teman banyak, mengobrol, berdiskusi dan lebih pro aktif saat berinteraksi dengan orang lain. 

Bahkan saya sendiri kaget, kok ternyata saya banyak bicara ya. Padahal saya introvert, yang kelelahan setiap usai berinteraksi dengan orang banyak. 

Ya, saya bisa mengatakan bahwa saya itu orang yang nggak tegaan kalau ada orang yang datang dan meminta bantuan. Kalau ada, saya kasih. Tentunya dengan perhitungan yang cermat, bahwa saya tetap tidak mau foya-foya membantu orang tapi menyulitkan diri sendiri. 

Namun......entah kenapa....

Belakangan ini, saya merasa orang-orang mulai memanfaatkan kebaikan itu. Banyak orang menganggap saya punya segalanya, hidup tanpa rasa susah dan gampang dimintai bantuan. Ya, saya tahu. Harusnya saya bangga dong, orang ngga menganggap saya pelit lagi. 

Tapi kok saya merasa dimanfaatkan ya. 

Orang dengan mudah minta sesuatu, seolah mereka orang paling membutuhkan dan paling layak diberi bantuan. Dan saya adalah orang yang bertanggung jawab atas kebutuhan mereka itu. 

Di keluarga, ada saja orang yang sebentar-sebentar pinjam uang, minta uang. Bahkan orang yang nggak pernah berinteraksi sebelumnya pun, tiba-tiba menghubungi ketika butuh uang. Kemana mereka ketika kami sakit, dioperasi, dirawat, kesusahan, bingung, dan lain-lain. 

Dalam pertemanan pun begitu, ada orang yang memanfaatkan posisi kami sebagai teman sehingga seenaknya memperlakukan profesi saya seenak jidatnya saja. Minta diskon, minta bayar separo, janji seenaknya, batal tanpa berita, memaksa dan lain-lain. 

Kenapa tiba-tiba saya menjadi penanggungjawab permasalahan hidup orang lain. Padahal saya juga sedang berjuang mengejar mimpi dan hidup saya juga sangat sibuk. Kenapa tiba-tiba orang melihat saya sebagai mesin ATM, padahal saya baru saja memulai karir saya (bahkan belum genap 5 tahun) dan saya masih punya banyak mimpi yang belum tercapai. 

Apakah mereka nggak melihat, saya juga punya kebutuhan yang sedang diatur-atur. Saya tidak segampang itu berfoya-foya. Bahkan untuk beli baju dan kebutuhan tersier saja, saya baru berani belanjanya sekarang setelah saya kuliah S2 (karena saya sadar, ternyata saya butuh baju) dan bisa menghasilkan uang sendiri. Saya ngga berani banyak belanja ketika masih 100% bergantung pada suami. 

Kesimpulan....

Sepertinya saat ini, saya ingin menutup diri dulu dari orang banyak. Saya hanya ingin berinteraksi dengan orang-orang yang terikat keperluan dengan saya. Saya sedang malas banyak mengobrol, banyak ketemu orang, banyak terlibat dengan kegiatan yang menghabiskan energi. Saya ingin kembali menjadi introvert sejati, lebih sering menyendiri dan berpikir untuk membangun personal goal dalam kesendirian. 

Terlalu banyak orang, artinya terlalu banyak ketergantungan. Saya sedang tidak mau digantungkan oleh siapa-siapa. Jadi maaf kalau saya perhitungan, strict dan menjauh dari orang-orang yang berusaha memanfaatkan. 

Bukan ingin menjadi pelit, bukan. Insyaallah saya akan membantu mereka yang benar-benar butuh bantuan, tapi mereka nggak boleh take everything for granted dari saya. Saya akan memberi syarat. Saya akan membuat kalkulasi, agar tidak lagi bisa dimanfaatkan oleh siapapun. 

Sekarang, saya nggak peduli lagi dengan anggapan orang tentang saya, bahkan jika mereka bilang saya PELIT. Go ahead. 

Ini fase hidup saya yang baru, yang lebih firm dan saya tidak mau diatur oleh framing "harusnya kamu begitu". Saya akan bertanya balik, "kata siapa?" "kenapa saya harus melakukan sesuatu yang saya nggak hepi menjalankannya."

Ya, saya hanya akan melakukan hal berdasarkan perhitungan. Urusan sosial itu bukan hitam atau putih. Jadi saya tidak peduli judgement siapapun. Mohon maaf dan terima kasih. 

No comments

Show me that you visited this blog. Thanks!