Taaruf Kedua: Sebuah Pembuktian

Perjalanan ta’aruf revolusioner ini tidak serta merta usai setelah saya menikah. Karena menikah melalui ta’aruf yang singkat menyisakan banyak pertanyaan tentang kepribadian lelaki yang menjadi suami saya ini. Sebuah ta’aruf lanjutan harus saya dan suami lakukan.

Disamping itu saya yakin, keluarga masih menyangsikan bentuk pernikahan yang saya jalankan.  Di luar sana, banyak kasus pernikahan di keluarga dan masyarakat yang hanya bertahan seumur jagung, padahal mereka telah berusaha saling menyesuaikan diri melalui proses bernama pacaran. Sedangkan pernikahan saya dan suami tanpa melewati proses penyesuaian sebelumnya.

Taaruf Pertama: Sebuah Perubahan

 

Sebenarnya proses ta’aruf yang saya lakukan dengan ikhwan ini (sekarang telah menjadi suami saya), bukanlah yang pertama. Pernah saya melakukan beberapa ta’aruf sebelumnya. Namun ketika itu, saya tidak terbuka sepenuhnya pada orang tua bahwa saya sedang ta’aruf dengan si A atau si B. Entah kenapa? Mungkin karena masih memiliki sebentuk keraguan terhadap ikhwan-ikhwan tersebut. Jadi paling-paling saya cerita sekilas pandang saja.

Taaruf Revolusioner

Ba’da Ta’aruf: Awal Sebuah Perjuangan

Memasuki usia 22 tahun, tepatnya setelah lulus sarjana, undangan pernikahan dari teman-teman se-angkatan kuliah saya mulai datang satu persatu. Belum terlalu banyak memang, karena selepas sarjana, kami belum sepenuhnya tamat kuliah. Kami, para mahasiswa fakultas kedokteran gigi harus melanjutkan ke program profesi (ko-ass) usai wisuda sarjana. Sehingga kami masih harus berkutat dengan dunia perkuliahan ditambah tugas-tugas klinik yang akan membuat kami super sibuk, dan menikah pun belum menjadi target kami.