Perjalanan ta’aruf revolusioner ini tidak serta merta usai setelah saya menikah. Karena menikah melalui ta’aruf yang singkat menyisakan banyak pertanyaan tentang kepribadian lelaki yang menjadi suami saya ini. Sebuah ta’aruf lanjutan harus saya dan suami lakukan.
Disamping itu saya yakin, keluarga masih menyangsikan bentuk pernikahan yang saya jalankan. Di luar sana, banyak kasus pernikahan di keluarga dan masyarakat yang hanya bertahan seumur jagung, padahal mereka telah berusaha saling menyesuaikan diri melalui proses bernama pacaran. Sedangkan pernikahan saya dan suami tanpa melewati proses penyesuaian sebelumnya.
Oleh karena itu perjuangan belum berakhir. Saya harus bisa
menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diawali dengan niat yang suci dan
dijalankan sesuai aturan Allah, akan melahirkan nilai barakah. Barakah itu kami
harapkan diberikan Allah tak hanya selama proses upacara pernikahan, namun
terus mengalir disepanjang hayat kebersamaan saya dan suami.
Kadang keluarga masih tampak ragu akan perjalanan pernikahan
saya, lalu kembali melontarkan tanya. Ketika masih proses ta’aruf pertama dulu
saya maklum, tapi kini saya bingung. Kok bisa? Padahal saya dan suami sering
menunjukkan kemesraan dihadapan mereka.
“Teh, bagaimana rasanya menikah dengan seseorang yang nggak
begitu kenal sebelumnya? Memangnya bisa menikah tanpa cinta?” begitu salah satu
pertanyaan seorang saudara sepupu yang terlontar pada saya.
“Siapa bilang kami menikah tanpa cinta?” tegas saya. “Memang
di awal nikah saya belum merasakan ada cinta, melainkan sebentuk penyerahan
diri sepenuhnya pada ketetapan Allah. Saya yakin kok, dia adalah jodoh yang
Allah pilihkan, yang juga merupakan jawaban dari doa-doa saya. Sebab sebelum akad nikah terjadi, saya nggak
pernah berhenti berdoa agar Allah memberikan jalan yang terbaik. Dan ternyata
inilah jalan terbaik yang saya dapatkan. Terbukti pernikahannya lancar tanpa
hambatan yang berarti. Lalu tentang cinta nih. Percaya atau nggak, saya jatuh
cinta pada suami usai sholat berjamaah pertama kalinya setelah akad.”
Saya berusaha menjelaskan semampu saya, dan berharap saudara sepupu saya yang bertanya serta anggota keluarga yang lain puas. Tak hanya puas, saya berharap mereka mengerti dan memahami bahwa pernikahan tanpa pacaran bisa terjadi, bahkan menunjukkan sebuah kesempurnaan ibadah bagi yang menjalankannya.
Ya, pernikahan adalah ibadah. Alangkah sayangnya apabila
niat yang suci ini tidak ditunjang oleh proses yang diridhai Allah. Adalah
menjadi harapan saya dan suami, pernikahan yang kami bangun ini menjadi sebuah
sarana da’wah kami di keluarga. Ta’aruf revolusioner yang menjadi sebuah
pencerahan bagi siapapun yang sebelumnya meragukannya.
Pernikahan saya dan suami kini menginjak tahun ke delapan. Sebuah perjalanan penuh liku dan tak luput dari ujian. Seperti layaknya pernikahan pada umumnya, tak sedikit badai dan cobaan mencoba menggoyahkan ikatan pernikahan kami. Namun sebuah azzam yang sejak awal kami tancapkan, selalu mampu mengembalikan kami kepada mainstream yang kami bangun.
Menjaga sebuah pernikahan merupakan da’wah terbesar kami,
apalagi dengan hadirnya buah hati, semakin memperkuat azzam kami untuk
menorehkan catatan sejarah dengan mewujudkan sebuah pernikahan revolusioner
yang berangkat dari ta’aruf revolusioner. Amiin Ya Rabbal Alamin.
An unforgettable memory on our marriage
Tabalong, 05 Desember 2010
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!