Ba’da Ta’aruf: Awal Sebuah Perjuangan
Memasuki usia 22 tahun, tepatnya setelah lulus sarjana, undangan pernikahan dari teman-teman se-angkatan kuliah saya mulai datang satu persatu. Belum terlalu banyak memang, karena selepas sarjana, kami belum sepenuhnya tamat kuliah. Kami, para mahasiswa fakultas kedokteran gigi harus melanjutkan ke program profesi (ko-ass) usai wisuda sarjana. Sehingga kami masih harus berkutat dengan dunia perkuliahan ditambah tugas-tugas klinik yang akan membuat kami super sibuk, dan menikah pun belum menjadi target kami.
Bagaimana dengan saya? Saya termasuk ke dalam golongan kecil
mahasiswa yang ingin menikah sebelum lulus dokter gigi. Entah kenapa, saya
ingin sekali cepat-cepat menggenapkan separuh agama. Mungkin efek dari
buku-buku tentang pernikahan yang sering saya baca sehingga membuat saya
“ngebul” ingin menikah saat masih kuliah.
Beberapa dari teman yang telah menikah banyak yang meng-inspirasi
saya. Kebanyakan dari mereka menikah melalui proses yang syar’i, yaitu menikah
tanpa pacaran. Saya yang sedang bersemangat menggali ilmu agama, mempunyai
impian bisa menikah dengan cara seperti itu. Namun saya meragukannya. Kenapa?
Dalam sejarah keluarga, belum pernah saya lihat ada yang
menikah tanpa pacaran sebelumnya. Berarti kelak saya akan menjadi pioneer dalam
menjalankan proses ini. Tentu saja, segala bentuk perjuangan melaksanakannya
terpampang jelas dihadapan. Pasti tak akan mudah untuk memulai sebuah proses
baru yang sebelumnya belum pernah terjadi di keluarga. Tak hanya itu, saya juga
masih bingung harus memulai dari mana untuk memperkenalkan cara baru dalam
menikah ini kepada keluarga. Yang pasti, semua harus saya komunikasikan jauh-jauh
hari sebelum benar-benar memasuki proses itu. Agar keluarga, terutama orang
tua tidak kaget.
Akhirnya, perlahan-lahan saya coba membuka sebuah wacana tentang proses menuju pernikahan yang bernama ta’aruf. Orang pertama yang akan saya ajak bicara adalah mama. Saya pikir, pembicaraan antara wanita akan lebih mudah dibanding dengan pria. Jika mama sudah saya “pegang”, insya Allah beliau akan membantu ketika saya berkomunikasi dengan papa nanti.
Ternyata perkiraan saya yang menduga akan mudah menjelaskan
tentang ta’aruf ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sulit membuat
mama yakin bahwa sebuah pernikahan bisa terjadi melalui ta’aruf, yang nota bene
calon pasangan tidak akan ada interaksi yang intens selayaknya orang pacaran.
“Bagaimana teteh (begitu panggilan mama pada saya) yakin
kalau dia orang yang tepat dan baik untuk jadi suami? Sedangkan orang yang
pacaran bertahun-tahun saja banyak yang gagal dalam pernikahannya.” Begitu
salah satu pertanyaan mama.
Saya mencoba memberikan penjelasan yang mungkin akan mudah
diterima oleh logika beliau.
“Dalam proses ta’aruf, seorang laki-laki dan perempuan
diberi kesempatan untuk saling mengenal kok, Ma. Hanya caranya yang beda.
Mereka nggak boleh berdua-duaan aja, tanpa ada muhrim yang mendampingi, “ ujar
saya singkat. Untuk sementara pertanyaan mama berhenti. Tapi saya tahu, beliau
masih belum puas dengan jawaban saya yang kelewat sederhana.
Pada kesempatan lain, mama sempat mengajukan pertanyaan
lagi, “Orang nikah itu kan harus saling cinta. Kalau cuma ketemuan
sedikit-sedikit gitu, pake ada bodyguard lagi, mana bisa jatuh cinta dan tumbuh
rasa kasih sayang?”
Jujur, saat itu saya belum bisa menjawab semua pertanyaan
mama dan papa. Karena apa yang saya ketahui tentang ta’aruf baru dalam tahap
teori singkat, yang saya peroleh dari buku. Bukan berdasarkan pengalaman.
Akhirnya beberapa kali saya menunda memberi jawaban.
Keraguan tentang proses ta’aruf tak hanya muncul dari mama,
tapi juga dari papa. Hanya papa sepertinya percaya kalau apapun jalan yang saya
pilih kelak, sudah saya pikirkan konsekuensinya.
Kecemasan mereka serta pertanyaan-pertanyaan yang kerap
muncul dari orang tua sempat memengaruhi saya. Menumbuhkan butir-butir
keraguan. Meskipun azzam sudah saya tanamkan, namun sesekali ketika kondisi
ruhiyah turun keraguan itu hadir. Kekuatan dan keyakinan kembali menguat
melalui dorongan dari teman-teman dan murabbiyyah saya.
Akhirnya meskipun pertanyaan kerap disuguhkan pada saya dari
orang tua dan anggota keluarga lain, saya tak gentar. Tak peduli dianggap keras
kepala atau apapun, saya bertekad akan tetap melaju dengan cara yang saya
anggap baik ini. Sebab seiring dengan pemahaman tentang ta’aruf saya ketahui,
saya sudah menghapus kamus pacaran dalam hidup saya. Titik.
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!