Sebenarnya proses ta’aruf yang saya lakukan dengan ikhwan ini (sekarang telah menjadi suami saya), bukanlah yang pertama. Pernah saya melakukan beberapa ta’aruf sebelumnya. Namun ketika itu, saya tidak terbuka sepenuhnya pada orang tua bahwa saya sedang ta’aruf dengan si A atau si B. Entah kenapa? Mungkin karena masih memiliki sebentuk keraguan terhadap ikhwan-ikhwan tersebut. Jadi paling-paling saya cerita sekilas pandang saja.
“Ma, Anne lagi kenalan nih sama cowok (kalau pakai istilah
ikhwan, beliau belum paham). Orangnya begini begini begini, trus aktivitasnya
bla bla bla. Orang tuanya titik titik titik, dan lain-lain.”
Lalu respon mama adalah, “Orang mana? Kuliahnya dimana?
Kerja dimana? Orang tuanya pekerjaannya apa?”
Huh. Kok pertanyaannya seputar materi semua sih? Mama matre
nih, begitu pikir saya. Karena sudah tampak ada sinyal-sinyal ketidaksetujuan,
akhirnya saya malas melanjutkan proses itu. Toh kalaupun berlanjut, lalu
orangtua tidak setuju, buat apa?
Pertanyaan serupa hampir selalu diutarakan mama setiap kali
saya mengajukan kriteria seorang ikhwan. Ternyata pemahaman mama masih seputar
materi yang akan membuat sebuah pernikahan itu sukses. Pfiuuh, pe-er saya masih banyak nih.
Pelan-pelan saya sering bercerita pada mama kisah pernikahan
beberapa orang teman yang sukses melalui ta’aruf. Perlahan pula pandangan mama
mulai terbuka dan membuat diskusi saya malah mengasyikan. Alhamdulillah usaha
saya, dengan dibantu do’a tentunya, telah membuahkan hasil. Ya, saya kerap
berdoa pada Allah meminta semoga Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati
berkenan membuka hati mama dan papa mengenai jalan yang saya pilih untuk menuju
pernikahan. Subhanallah, doa saya terkabul.
Ketika kembali datang seorang ikhwan yang menyatakan ingin
berproses menuju pernikahan, saya langsung ceritakan pada orang tua. Secara
detail saya komunikasikan perihal tentang ikhwan ini dan tata cara ta’aruf yang
saya jalankan.
Begitulah ketika Allah menjadikan semuanya mudah dan indah
pada waktunya, sejak mulai berproses dengan ikhwan ini segala kemudahan Allah
tunjukkan. Mulai dari ketetapan hati saya untuk terus melanjutkan proses di
tengah kesibukan ko-ass yang sedang memasuki masa akhir, orang tua juga
mendukung sepenuhnya ta’aruf saya dengan ikhwan ini. Padahal ada beberapa poin
yang menurut saya berada di luar kriteria materi orang tua saya.
Pertama, ikhwan ini adalah mahasiswa. Ya, kami sama-sama
masih kuliah, dan sudah pasti belum memiliki maisyah (penghasilan) tetap.
Padahal biasanya urusan pekerjaan adalah hal utama yang ditanyakan oleh orang
tua, terutama oleh mama.
Kedua, latar belakang orang tua. Ta’aruf yang saya jalankan
ini terbilang aneh dan unik. Biasanya dalam sebuah proses ta’aruf, pasangan
ikhwan dan akhwat akan bertemu untuk bertukar informasi tentang kondisinya masing-masing
secara lengkap, atau paling tidak kami mencari informasi melalui orang lain
yang dapat dipercaya.
Tapi tidak dengan kami. Saat itu saya masih sibuk dengan
urusan kuliah dan klinik untuk segera menyelesaikan ko-ass, sedangkan sang
ikhwan pun sedang sibuk dengan urusan Tugas Akhir (skripsi)-nya. Urusan ta’aruf
menjadi terpinggirkan, sehingga tidak dilakukan secara maksimal. Kami hampir
tidak pernah bertemu khusus untuk berkomunikasi ataupun bertukar informasi.
Saya sendiri merasa cukup dengan informasi yang ada, tanpa perlu mencari tahu
lagi hal-hal yang lebih mendalam, karena saya merasa telah mengenalnya melalui
sebuah organisasi sosial.
Sehingga ketika orang tua bertanya bagaimana keadaan
keluarganya mulai dari agama, ekonomi, latar belakang budaya dan sebagainya,
saya blank! Anehnya, orang tua tidak mempermasalahkan. Maka ta’aruf pun terus
berjalan selama sebulan. Ya, hanya sebulan.
Tepat empat minggu berikutnya, si dia beserta keluarganya
silaturrahim ke rumah kami. Ada yang lucu dan sempat membuat shock. Jumlah yang
datang lumayan banyak. Awalnya saya pikir hanya kedua orang tua dan ikhwannya
saja yang akan datang, ternyata semua kakak-kakaknya yang hampir seluruhnya
telah berkeluarga datang. Berseragam batik lengkap.
Tak hanya silaturrahim, mereka juga meng-khitbah saya.
Dilanjutkan dengan menentukan waktu pernikahan. Saya kaget, apalagi orangtua.
Secepat inikah sebuah proses ta’aruf itu? Padahal yang akan saya masuki nanti
adalah sebuah gerbang pernikahan, yang akan saya jalani di sepanjang sisa usia
saya.
Sempat mama dan papa kembali mempertanyakan kemantapan hati
saya. “Teteh udah yakin dengan calon suami pilihan teteh ini?” tanya mama.
“Insya Allah,” jawab saya singkat.
“Nikah itu sekali untuk selamanya lho, jangan sampai nyesel
nanti,” ujar mama lagi.
“Iya, Ma. Insya Allah nggak akan nyesel. Anne udah siap.”
Begitulah proses ta’aruf itu berjalan, hanya sebulan hingga
menuju khitbah dan juga sebulan menuju akad.
Hal ini menjadi sebuah kejadian revolusioner dalam keluarga
saya, karena budaya pacaran masih menjadi kebiasaan pasangan-pasangan yang ada
di keluarga sebelum melangsungkan pernikahan. Ada yang 6 bulan, 1 tahun, 3
tahun bahkan belasan tahun. Sementara saya dan suami menjalankan proses ta’aruf
hanya 2 bulan hingga dilangsungkan akad nikah.
Banyak yang terheran-heran dengan proses ini. Tak sedikit
yang berkomentar lucu, karena saya dan calon suami dianggap tidak serius
seperti layaknya orang mau menikah. Bahkan dalam mempersiapkan prosesi akad pun
kami seperti kurang serius dan tampak tidak sibuk mempersiapkannya.
Bagaimana tidak, saat itu saya tengah berjibaku dengan
urusan pasien di klinik ko-ass, seminar dan ujian. Calon suami sedang berjuang
menyelesaikan Tugas Akhir dan akan segera melaksanakan sidang akhir tepat
sehari sebelum tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan. Terus terang saja,
konsentrasi kami terpusat pada urusan kuliah masing-masing. Sampai-sampai
cincin pernikahan pun hampir lupa disiapkan.
Sehari sebelum akad saya mendapat SMS dari calon suami,
“Assalamu’alaikum. Teh Anne (begitu dia memanggil saya sebelum menikah), saya
belum siapin cincin. Bisa nggak kita ketemu langsung di toko emas A buat
nyocokin cincin buat besok?”
What! Saya kaget bukan main. Dia mengirimi saya SMS sekitar
jam 4 sore. Hari itu adalah hari jum’at dimana biasanya toko-toko tutup lebih
awal, dan besok kami akan menikah.
“Ketemu kapan? Sekarang?” tanya saya, pura-pura tulalit.
“Iya, sekarang. Kan nikahnya besok. Sebentar lagi tokonya
tutup, trus saya mau sidang TA jam 7 malam. Jadi kita harus ketemu secepatnya.”
“Akhi aja yang beli cincinnya deh,” pinta saya.
“Saya kan nggak tahu seleranya ukhti seperti apa, trus kalo
ukurannya gak pas gimana?”
Akhirnya saya segera menuju tempat yang dimaksud dengan
ditemani seorang sahabat perempuan saya. Bertemu seorang ikhwan sendirian,
meskipun yang insya Allah akan menjadi suami saya besok, saya tidak berani.
Apalagi ternyata sejak kami berproses ta’aruf saya selalu canggung ketika berhadapan
dengannya. Padahal sebelumnya kami sering bertemu dalam forum organisasi.
Alhamdulillah sebuah cincin sederhana yang menjadi salah
satu mahar dalam akad nikah besok telah kami dapatkan. Kejadian ini saya
rahasiakan pada orang tua, sebab kalau mereka sampai tahu kami hampir lupa
urusan mahar, bisa-bisa membuat mereka geleng-geleng kepala.
Esoknya sebuah akad nikah sederhana dilaksanakan. Melalui
sebuah proses ta’aruf singkat akhirnya kami resmi menjadi suami istri. Ada
perasaan tidak percaya, tapi semua nyata. Saya berhasil menjalankan sebuah
pernikahan tanpa pacaran, sesuatu yang semula dianggap mustahil oleh hampir
seluruh anggota keluarga.
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!