Taaruf Pertama: Sebuah Perubahan

 

Sebenarnya proses ta’aruf yang saya lakukan dengan ikhwan ini (sekarang telah menjadi suami saya), bukanlah yang pertama. Pernah saya melakukan beberapa ta’aruf sebelumnya. Namun ketika itu, saya tidak terbuka sepenuhnya pada orang tua bahwa saya sedang ta’aruf dengan si A atau si B. Entah kenapa? Mungkin karena masih memiliki sebentuk keraguan terhadap ikhwan-ikhwan tersebut. Jadi paling-paling saya cerita sekilas pandang saja.

“Ma, Anne lagi kenalan nih sama cowok (kalau pakai istilah ikhwan, beliau belum paham). Orangnya begini begini begini, trus aktivitasnya bla bla bla. Orang tuanya titik titik titik, dan lain-lain.”

Lalu respon mama adalah, “Orang mana? Kuliahnya dimana? Kerja dimana? Orang tuanya pekerjaannya apa?”

Huh. Kok pertanyaannya seputar materi semua sih? Mama matre nih, begitu pikir saya. Karena sudah tampak ada sinyal-sinyal ketidaksetujuan, akhirnya saya malas melanjutkan proses itu. Toh kalaupun berlanjut, lalu orangtua tidak setuju, buat apa?

Pertanyaan serupa hampir selalu diutarakan mama setiap kali saya mengajukan kriteria seorang ikhwan. Ternyata pemahaman mama masih seputar materi yang akan membuat sebuah pernikahan itu sukses. Pfiuuh,  pe-er saya masih banyak nih.

Pelan-pelan saya sering bercerita pada mama kisah pernikahan beberapa orang teman yang sukses melalui ta’aruf. Perlahan pula pandangan mama mulai terbuka dan membuat diskusi saya malah mengasyikan. Alhamdulillah usaha saya, dengan dibantu do’a tentunya, telah membuahkan hasil. Ya, saya kerap berdoa pada Allah meminta semoga Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati berkenan membuka hati mama dan papa mengenai jalan yang saya pilih untuk menuju pernikahan. Subhanallah, doa saya terkabul.

Ketika kembali datang seorang ikhwan yang menyatakan ingin berproses menuju pernikahan, saya langsung ceritakan pada orang tua. Secara detail saya komunikasikan perihal tentang ikhwan ini dan tata cara ta’aruf yang saya jalankan.

Begitulah ketika Allah menjadikan semuanya mudah dan indah pada waktunya, sejak mulai berproses dengan ikhwan ini segala kemudahan Allah tunjukkan. Mulai dari ketetapan hati saya untuk terus melanjutkan proses di tengah kesibukan ko-ass yang sedang memasuki masa akhir, orang tua juga mendukung sepenuhnya ta’aruf saya dengan ikhwan ini. Padahal ada beberapa poin yang menurut saya berada di luar kriteria materi orang tua saya.



Pertama, ikhwan ini adalah mahasiswa. Ya, kami sama-sama masih kuliah, dan sudah pasti belum memiliki maisyah (penghasilan) tetap. Padahal biasanya urusan pekerjaan adalah hal utama yang ditanyakan oleh orang tua, terutama oleh mama.

Kedua, latar belakang orang tua. Ta’aruf yang saya jalankan ini terbilang aneh dan unik. Biasanya dalam sebuah proses ta’aruf, pasangan ikhwan dan akhwat akan bertemu untuk bertukar informasi tentang kondisinya masing-masing secara lengkap, atau paling tidak kami mencari informasi melalui orang lain yang dapat dipercaya.

Tapi tidak dengan kami. Saat itu saya masih sibuk dengan urusan kuliah dan klinik untuk segera menyelesaikan ko-ass, sedangkan sang ikhwan pun sedang sibuk dengan urusan Tugas Akhir (skripsi)-nya. Urusan ta’aruf menjadi terpinggirkan, sehingga tidak dilakukan secara maksimal. Kami hampir tidak pernah bertemu khusus untuk berkomunikasi ataupun bertukar informasi. Saya sendiri merasa cukup dengan informasi yang ada, tanpa perlu mencari tahu lagi hal-hal yang lebih mendalam, karena saya merasa telah mengenalnya melalui sebuah organisasi sosial.

Sehingga ketika orang tua bertanya bagaimana keadaan keluarganya mulai dari agama, ekonomi, latar belakang budaya dan sebagainya, saya blank! Anehnya, orang tua tidak mempermasalahkan. Maka ta’aruf pun terus berjalan selama sebulan. Ya, hanya sebulan.

Tepat empat minggu berikutnya, si dia beserta keluarganya silaturrahim ke rumah kami. Ada yang lucu dan sempat membuat shock. Jumlah yang datang lumayan banyak. Awalnya saya pikir hanya kedua orang tua dan ikhwannya saja yang akan datang, ternyata semua kakak-kakaknya yang hampir seluruhnya telah berkeluarga datang. Berseragam batik lengkap.

Tak hanya silaturrahim, mereka juga meng-khitbah saya. Dilanjutkan dengan menentukan waktu pernikahan. Saya kaget, apalagi orangtua. Secepat inikah sebuah proses ta’aruf itu? Padahal yang akan saya masuki nanti adalah sebuah gerbang pernikahan, yang akan saya jalani di sepanjang sisa usia saya.

Sempat mama dan papa kembali mempertanyakan kemantapan hati saya. “Teteh udah yakin dengan calon suami pilihan teteh ini?” tanya mama.

“Insya Allah,” jawab saya singkat.

“Nikah itu sekali untuk selamanya lho, jangan sampai nyesel nanti,” ujar mama lagi.

“Iya, Ma. Insya Allah nggak akan nyesel. Anne udah siap.”

Begitulah proses ta’aruf itu berjalan, hanya sebulan hingga menuju khitbah dan juga sebulan menuju akad.

Hal ini menjadi sebuah kejadian revolusioner dalam keluarga saya, karena budaya pacaran masih menjadi kebiasaan pasangan-pasangan yang ada di keluarga sebelum melangsungkan pernikahan. Ada yang 6 bulan, 1 tahun, 3 tahun bahkan belasan tahun. Sementara saya dan suami menjalankan proses ta’aruf hanya 2 bulan hingga dilangsungkan akad nikah.

Banyak yang terheran-heran dengan proses ini. Tak sedikit yang berkomentar lucu, karena saya dan calon suami dianggap tidak serius seperti layaknya orang mau menikah. Bahkan dalam mempersiapkan prosesi akad pun kami seperti kurang serius dan tampak tidak sibuk mempersiapkannya.

Bagaimana tidak, saat itu saya tengah berjibaku dengan urusan pasien di klinik ko-ass, seminar dan ujian. Calon suami sedang berjuang menyelesaikan Tugas Akhir dan akan segera melaksanakan sidang akhir tepat sehari sebelum tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan. Terus terang saja, konsentrasi kami terpusat pada urusan kuliah masing-masing. Sampai-sampai cincin pernikahan pun hampir lupa disiapkan.

Sehari sebelum akad saya mendapat SMS dari calon suami, “Assalamu’alaikum. Teh Anne (begitu dia memanggil saya sebelum menikah), saya belum siapin cincin. Bisa nggak kita ketemu langsung di toko emas A buat nyocokin cincin buat besok?”

What! Saya kaget bukan main. Dia mengirimi saya SMS sekitar jam 4 sore. Hari itu adalah hari jum’at dimana biasanya toko-toko tutup lebih awal, dan besok kami akan menikah.

“Ketemu kapan? Sekarang?” tanya saya, pura-pura tulalit.

“Iya, sekarang. Kan nikahnya besok. Sebentar lagi tokonya tutup, trus saya mau sidang TA jam 7 malam. Jadi kita harus ketemu secepatnya.”

“Akhi aja yang beli cincinnya deh,” pinta saya.

“Saya kan nggak tahu seleranya ukhti seperti apa, trus kalo ukurannya gak pas gimana?”

Akhirnya saya segera menuju tempat yang dimaksud dengan ditemani seorang sahabat perempuan saya. Bertemu seorang ikhwan sendirian, meskipun yang insya Allah akan menjadi suami saya besok, saya tidak berani. Apalagi ternyata sejak kami berproses ta’aruf saya selalu canggung ketika berhadapan dengannya. Padahal sebelumnya kami sering bertemu dalam forum organisasi.

Alhamdulillah sebuah cincin sederhana yang menjadi salah satu mahar dalam akad nikah besok telah kami dapatkan. Kejadian ini saya rahasiakan pada orang tua, sebab kalau mereka sampai tahu kami hampir lupa urusan mahar, bisa-bisa membuat mereka geleng-geleng kepala.

Esoknya sebuah akad nikah sederhana dilaksanakan. Melalui sebuah proses ta’aruf singkat akhirnya kami resmi menjadi suami istri. Ada perasaan tidak percaya, tapi semua nyata. Saya berhasil menjalankan sebuah pernikahan tanpa pacaran, sesuatu yang semula dianggap mustahil oleh hampir seluruh anggota keluarga.

No comments

Show me that you visited this blog. Thanks!