“Menjalani hidup minimal bukanlah tentang hidup kekurangan, tapi tentang bagaimana memiliki kebendaan sesuai kebutuhannya.”
Di Indonesia, bicara hidup minimal rasanya terasa lebih mudah, karena sebagian besar kita mendapat pendidikan dari orangtua untuk hidup hemat. Apalagi ditambah keuangan kita yang memang pas-pasan ya, hihihi.
Tapi kalau kita melihat lifestyle sebagian besar orang-orang negara maju, menjalani minimalist lifestyle ini tampaknya beraaat bener.
Salah satu tetangga saya saat tinggal di Emerald, punya garasi yang cukup besar dan muat untuk dua mobil. Kalau dibandingkan dengan rumah saya sekarang, ukuran garasinya itu sama dengan ruang keluarga, ruang makan dan dapur sekaligus. Apa isi garasinya? Bukan, bukan mobil. Melainkan perabot rumah tangga yang nggak terpakai lagi.
Cukup banyak dari mereka memang hidup konsumtif. Senang membeli barang baru karena bosan dengan barang lama. Sudah gitu barang yang dibeli memang bukan yang terlalu penting (menurut saya lho), seperti lampu duduk, lukisan, sofa, gaun pesta dan sebagainya. Makanya di sana, banyak toko-toko barang second dan grup buy, swap and sell di facebook.
Lifestyle seperti ini mulai merebak di kota besar di Indonesia. Banyak orang senang membeli barang padahal bukan kebutuhannya. Jadinya, barang-barang numpuk di rumah. Beberapa barang memang dipakai rutin, tapi nggak sedikit yang cuma menuh-menuhin berbagai sudut rumah aja.
Mulai dari perabot sampai mobil. Iya, bayangkan aja yang bisa mengendarai mobil di satu rumah hanya 2 orang, tapi mobilnya ada 3. Yang satu buat cadangan. Pantesan aja Jakarta macet kan.
Atau ada juga kebiasaan orang yang enggan membuang barang yang sebenarnya sudah nggak berguna, seperti kertas-kertas, koran, brosur, dan sebagainya.
Budaya ini akan semakin berkembang dan menjangkiti kita seiring dengan meningkatnya penghasilan dan meniru budaya Barat. Kita sudah nggak hanya beli barang sesuai kebutuhan, tapi karena keinginan.
Kebiasaan ini kalau dibiarkan terus tentu akan menjadi mindset yang terikat pada kebendaan. Seberapapun uang yang dimiliki, akan habis untuk membeli barang. Budaya konsumtif yang dibungkus oleh materialisme dan hedonisme.
Decluttering, Solusi Menyederhanakan Hidup
Ada banyak keuntungan apabila kita berhasil melepaskan diri dari kebendaan ini. Terutama dalam ajaran Islam yang mengingatkan kita “Genggamlah Dunia dengan Tanganmu, Bukan dengan Hatimu.”
Kalau sudah terlanjur mengoleksi beragam barang dan ingin menguranginya, proses ini dikenal dengan istilah DECLUTTERING.
Decluttering adalah membuang (ini bahasa saya, bahasa manisnya adalah merapikan) barang-barang tidak penting yang mememenuhi tempat tertentu.
Buat beberapa orang, decluttering ini nggak gampang karena terikat dengan kenangan pada suatu barang, misalnya kenangan masa kecil, kampung halaman, traveling dan sebagainya. Tapi kalau kita ingin hidup lebih ringkas, hemat dan rumah juga lebih lapang, harus ada sedikit “memaksakan diri” menyingkirkan barang-barang nggak perlu.
Saya sendiri termasuk orang yang nggak suka rumah berantakan, tapi sayang kalau membuang benda. Ya itu, banyak kenangannya. Tapi berangkat dari keinginan untuk hidup minimalis, kondisi harus diusahakan. Nggak bisa terbentuk sendirinya.
UNTUK ITU, SAYA ADA BEBERAPA TIPS DECLUTTERING PRAKTIS YANG SAYA COBA DI RUMAH, YAITU MELALUI BEBERAPA TAHAPAN:
A. Sediakan waktu sebentar saja, sekitar 10 – 15 menit dan menyiapkan diri untuk beres-beres. Siapkan kardus atau kantong untuk membuang barang-barang nggak perlu.
B. Kita juga bisa mengelompokkan benda-benda yang recyclable/upcyclable di wadah khusus lalu disumbangkan ke pengumpul sampah atau ke bank sampah.
C. Mulai dari area yg paling mudah.
D. Mengelompokkan menjadi cluster kecil.
Membersihkan seluruh rumah pasti butuh energi dan waktu yang banyak. Kalau mikirin ini, yang ada kita nggak akan mulai-mulai. Nunggu sempetnya. Kalau barang-barang ini kita bagi menjadi beberapa cluster kecil, semua akan terasa lebih mudah.
Tahapan pengelompokan menjadi cluster kecil misalnya:
1. Decluttering laci atau meja
Laci coffee table saya isinya bejibun banget. Kalau mau disebutkan satu-satu, susah deh. Yang saya ingat sih, saya menyimpan berbagai kunci, beragam kartu, charger untuk beberapa gadgets, coins, sisir, ikat rambut, kertas, surat-surat, bon dan sebagainya. Beuh nyebutinnya aja pake mikir, saking banyaknya.
Laci meja ini sering banget saya bersihin, buangin yang nggak penting dan menyimpan ke tempat yang lebih aman. Tapi dalam waktu beberapa minggu, akan penuh kembali. Tapi memang, harus konsisten dirapiin sih. Kalau nggak, malah lebih parah.
Tapi, sebelum saya beresin tempat lain, at least saya paling sering decluttering di laci meja ini. Karena lokasinya paling dekat dan paling sering dibuka.
2. Decluttering lemari
Ini juga sudah saya lakukan, yaitu dengan memilih beberapa baju yang biasa dipakai aja. Selain baju yang dipakai sehari-hari, saya juga menyimpan satu dua baju yang dipakai paling nggak sebulan sekali.
Naah, yang udah lama nggak dipakai saya sumbangkan ke saudara dan kerabat yang membutuhkan.
3. Kamar mandi
Sebenarnya di kamar mandi saya nggak terlalu banyak barang. Tapi ada lho kamar mandi yang jadi tempat menyimpan barang-barang yang dibuang sayang, seperti botol-botol lama, gayung atau ember, spons mandi, sikat gigi.
Udah deh, yang sampah-sampah dibuang aja. Kecuali memang akan di upcycle jadi sesuatu. Dan cepat lakukan. Jangan ditunda-tunda melulu.
4. Meja Rias
Meja rias termasuk lokasi yang rentan penumpukan barang. Kosmetik yang nggak habis, botol perawatan wajah yang sisa sedikit dibuang sayang dipake nggak, kuas-kuas lama gak kepake lagi, dan sebagainya.
Saya nggak punya meja rias, tapi di kamar ada meja pendek yang memang difungsikan untuk naro apa aja. Ternyata begitu saya evaluasi di sini saya menyimpan banyak kenangan yang sulit saya lepas (halah lebay). Ada sabun wajah tinggal separo, lipstik jaman jebot yang nggak pernah dipakai tapi dibuang sayang, parfum yang ternyata saya nggak suka. Dan masih banyak lagi.
Sedikit demi sedikit, sudah saya coba rapikan dan singkirkan yang nggak lagi dipakai. Alhamdulillah penampakan meja saya lumayan rapi sekarang. Semoga nggak penuh lagi.
5. Kotak mainan anak
Nah ni dia, segala barang gak penting numpuk di sini. Hihihi nggak penting kata emaknya. Kalau kata anaknya ini penting semua. Sebelum memulai decluttering area ini, jangan lupa izin sama anak atau ajak anak untuk ikut membereskan.
Memang agak susah membuat anak rela melepas mainan lamanya, meski nggak digunakan lagi. Tipsnya adalah ajak anak untuk belajar jualan, dengan menjual mainan lamanya yang masih bagus ke teman-teman mainnya dengan harga murah, misalnya Rp 1000an.
Saya pernah melakukan ini, dan anak saya senang banget karena jadi punya uang sendiri.
E. Tidak menambah barang baru yang nggak berguna
Ini udah pernah dibahas di tulisan sebelumnya ya, tentang menambah barang kalau memang membutuhkannya.
F. Mengelompokkan barang sesuai kategori dan membuat tempat khusus untuk memudahkan.
Yang bikin rumah berantakan biasanya adalah ketika kita nggak punya tempat penyimpanan khusus atau nggak mengembalikan barang ke tempat semula. Udah gitu, yang pake beda-beda orang, giliran perlu semua ribut harus mencari. Ish males banget kalo udah begini deh.
Meskipun rumah kita nggak luas, tapi akan asyik kalo kita bikin area khusus untuk tempat menyimpan barang.
Iya, saya memang terindikasi OCD yang suka gemes kalau barang nggak beraturan. Tapi ternyata semua ada manfaatnya lho. Setelah semua barang punya tempatnya masing-masing, nggak ada lagi keributan saat perlu mencari sesuatu.
G. Think “Saya nggak akan menderita tanpa benda ini”
Ini mindset baru yang saya pakai ketika memulai decluttering barang. Kalau semuanya dibikin baper mah, nggak ada yang bisa disortir deh. Jadi harus kuatkan tekad dan relakan barang yang nggak kita butuhkan untuk sehari-hari meninggalkan tempatnya semula.
Kira-kira segitu dulu tips awal saya untuk memulai decluttering. Dari kesemuanya ini, yang paling berat adalah KONSISTEN menjaga kerapihan dan nggak menumpuk barang baru yang nggak penting.
Jangan lupa ajak anak-anak dan anggota keluarga untuk berpartisipasi juga, karena kalau tidak saling kolaborasi yang ada satu orang jadi tukang beberes, yang lain tukang numpuk barang. Kalau begini caranya sih, “Hayati lelah, Bang.”
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!