Setiap keluarga, baik secara bersama-sama maupun individual akan bertumbuh. Biasanya – ini mengukur dari pendapat pribadi – kita ingin berkembang menjadi lebih baik. Lebih makmur (baca: meningkat secara ekonomi), dimana di awal nikah oke lah kemana-mana naik motor butut. Tapi begitu punya anak dua harus udah bisa punya mobil, meskipun second.
Yep, itu dari ukuran materi. Dari sisi karir juga ingin
meningkat. Contohnya, kalau awalnya hanya karyawan biasa, beberapa tahun berikutnya
sudah bisa lah jadi supervisor. Dari sisi kualitas emosional, inginnya lebih
matang dalam berpikir, bijak dan dewasa. Kira-kira begitulah.
Semua sudah menjadi hal yang umum terjadi dalam kehidupan
manusia. Nggak ada dong, orang yang tadinya berkecukupan jadi ingin miskin.
Nggak ada. Artinya,
ingin punya kehidupan yang lebih baik.
Saya baru membahas ini dengan suami. Well, sebenernya sering banget kami membahas tentang peningkatan materi ini. Gimana bisa punya rumah lebih baik, kendaraan lebih anyar, penghasilan lebih banyak dan sebagainya. Tapi pembicaraan yang lebih detil dan sekaligus action terjadi beberapa hari yang lalu.
MENJADI MINIMALIS
Sejak kami menjadi keluarga homeschooler, bertemu banyak
orang dari berbagai kalangan, mengunjungi banyak tempat, sedikit banyak
mengubah cara pandang kami. Bahwa kebahagiaan nggak selalu ditentukan dengan
keberadaan. Memiliki banyak benda berharga, bukan tanda kemakmuran.
Oleh karena itu, ada satu bucket list yang muncul dan saya
bahas bersama suami, yaitu tentang hidup minimalis.
Intinya sih, menjadi minimalis adalah hidup dengan pikiran
yang lebih sederhana dan memilih kebutuhan yang benar-benar fungsional dan
efektif.
SEBAGAI STEP AWAL, 5 HAL INI YANG KAMI COBA LAKUKAN UNTUK MENJADI MINIMALIS
1. Menyimpan pakaian hanya yang biasa dipakai.
Konsep bahwa setiap benda akan ada hisabnya, menjadi salah satu pegangan saya. Saya cukup sering berpergian, dan pakaian yang dipakai biasanya gamis casual aja. Nggak perlu yang mahal dan banyak modelnya. Yang penting praktis dan menutup bagian yang ingin saya tutup. Kemudian dipasangkan dengan hijabnya yang sesuai.
Secara jumlah, nggak perlu banyak. Saya sering singkirkan baju-baju yang sudah nggak bisa saya pakai (baca: nggak muat, hiks) dan nggak nyaman lagi baik dari segi model maupun bahan. Nggak ada baju yang saya simpan lama-lama. Untuk event tertentu yang resmi, saya cukup punya 2 baju, toh dipakainya nggak barengan dan jarang ketemu dengan orang yang sama, jadi bisa dipakai ulang.
Sepatu juga saya hanya punya dua, satu untuk jalan-jalan dan olahraga, satunya untuk jalan-jalan dan olahraga. Hahaha, iya saya cuma punya 2 keds, yang saya pakai buat kondangan juga.
Prinsip-prinsip kepemilikan pakaian di lemari saya:
- One in, one out. Ketika menambah satu baju, harus ada satu baju lama yang keluar. Jadi tidak ada ceritanya menumpuk baju di lemari.
- Hanya menyimpan pakaian yang biasa dipakai sehari-hari. Cadangannya adalah menyimpan pakaian yang dipakai paling tidak sebulan sekali.
- Mengeliminir pakaian yang jarang dipakai, yang dalam sebulan terakhir nggak pernah disentuh. Artinya baju tersebut tidak masuk dalam kategori baju yang dibutuhkan. Setelah menyortir semua pakaian, kami berhasil mengumpulkan dua luggage besar.
- Kalau baju anak-anak memang sering ya, karena alasan bajunya sempit atau usang. Tapi kalau dewasa kan nggak membesar secepat anak-anak ya. Seringnya beli baju karena tergoda membeli yang baru dan akhirnya menumpuk.
- Kami mencoba untuk nggak membeli pakaian kalau memang nggak butuh. Kalau masih cukup menggunakan yang ada, ya sudah, pakai aja yang ada.
2. Menggunakan produk yang habis dipakai sampai benar-benar
habis.
Jadi nggak ada kesempatan untuk menumpuk barang atau menyisakan barang yang belum habis untuk langsung beli yang baru.
3. Nggak mengoleksi tas, sepatu atau benda-beda konsumtif
lainnya.
Membeli saat perlu saja, dan kalau ada yang sudah nggak terpakai, dikeluarkan dari rumah.
4. Decluttering perabot rumah tangga
Dari semua teknik yang saya sebutkan di atas, decluttering
merupakan salah satu yang cukup berat dan butuh energi. Kenapa berat? Karena
kadang kita masih menyimpan beberapa benda yang sebenarnya nggak berguna tapi
sayang untuk dilepas dengan alasan menyimpan kenangan. Ini paliiing susah.
Apalagi kami banyak berpindah tempat. Setiap tempat yang
kami singgahi tersimpan dalam beberapa benda. Misalnya, ada satu piring plastik
yang didapat Naufal saat camping pertama kali bersama Emerald Scout Club.
Piringnya nggak berharga, di pasar juga banyak. Tapi kalau kami lepas, rasanya
berat. Karena setiap melihat piring itu ingatan kami terbawa ke Emerald,
Australia.
Dan masiiiih banyak hal lain. Apalagi yang berkaitan dengan
masa kecil, orangtua yang sudah mendahului dan sejenisnya.
Tapi prinsip decluttering ini harus dijalankan, karena makin lama kita akan hoarding barang nggak penting di rumah. Satu prinsip yang kami coba tanamkan adalah jangan menyimpan banyak kenangan lewat benda-benda. Tapi simpan saja di dalam memori dan hati. Karena benda sifatnya fana.
5. Tinggal di lingkungan yang mengakomodir untuk menjalankan
semuanya.
Saya sebenarnya masih bingung menerjemahkan bagian ini,
karena kita nggak bisa begitu aja memilih lingkungan tempat tinggal kan. Susah
untuk pindah-pindah sesuai kebutuhan.
Tapi saya terinspirasi dari doa Rasulullah yang isinya
adalah “Ya Allah. Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku
dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan
orang-orang miskin” (HR. Ibnu Majah).
Para ahli hadits menafsirkan kata miskin ini sebagai
ketawadhuan dan kebersahajaan. Juga dijelaskan bahwa Rasulullah SAW ingin hidup
di tengah-tengah rakyatnya yang miskin agar lebih mudah mencari orang untuk
disedekahi.
Karena inti dari hidup minimalis ini ternyata adalah banyak
bersedekah. Pun ketika kita mendapat rezeki lebih banyak untuk bisa membeli
barang baru, kita punya kesempatan untuk berbagi dengan mengeluarkan barang
yang sudah ada sebelumnya.
Kami sekeluarga saat ini sedang berharap semoga dimudahkan
untuk pindah ke tempat baru agar lebih bisa berkontribusi kepada lingkungan.
Kami rindu ingin punya rumah dongeng dan baca kembali. Berbagi makanan dan
berinteraksi secara sosial dengan tetangga.
BEING MINIMALIST NEEDS EFFORT
Menjadi minimalis, ternyata tidak semudah yang dibayangkan
juga. Karena ikatan kita yang kuat dengan kebendaan. Apalagi jika benda
tersebut memiliki nilai historis. Namun ini adalah salah satu bucket list di
keluarga kami.
Secara ekstrim di Jepang ada pelaku hidup minimalis yang
benar-benar hanya memiliki barang yang oaling esensial di rumahnya. Misalnya
hanya punya 3-4 potong baju, 1 piring, 1 gelas dan 1 panci. Perabotnya hanya 1
buah meja, 1 kursi dan 1 tempat tidur. Dan orang ini melakukannya sebagai
pilihan hidup.
Kan beda ya, orang yang hidup sederhana karena pilihan hidup
dengan orang yang terpaksa hidup sederhana karena tidak mampu beli-beli barang,
sementara impiannya adalah sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya setinggi-tingginya.
Jadi, jika seseorang ingin memilih hidup sederhana, kalaupun
memang ternyata karena tidak mampu membeli apa-apa, tidak akan pernah merasa
miskin. Dia akan merasa cukup karena memang itu adalah pilihan hidupnya dan
menjalaninya dengan bahagia.
Project ke depannya sih, semoga hidup minimalis ini bisa
kami jalankan dalam berbagai aspek, terutama secara psikologis. Bagaimana
menyingkirkan sampah-sampah pikiran agar tidak membuat otak kita mengalami
information obesity dan manajemen waktu. Tapi saya masih mencari step-stepnya,
semoga bisa dimulai dengan teknik berpikir positif. Dan semua ini pada akhirnya
harus bisa dijalankan secara konsisten di keluarga.
No comments
Show me that you visited this blog. Thanks!